“Teman-teman, jangan lupa habiskan waktumu dengan Ibumu di akhir pekan ini ya!!!!”
Sebuah pesan masuk di WA-ku. Aku kembali membaca kalimat pesan yang masuk. Ya, besok 22 Desember yang katanya adalah Hari Ibu. Sampai sekarang pun aku tak pernah tahu mengapa 22 Desember dijadikan sebagai moment Hari Ibu. Buatku pribadi tiap hari adalah hari Ibu. Tetapi izinkan saya menuliskan tentang seorang perempuan yang paling berjasa dalam hidupku.
Aku selalu memanggilnya Mama. Kadang memanggilnya “ummi” tetapi Beliau lebih suka dipanggil Mama. Perempuan yang sudah mempertaruhkan nyawanya saat melahirkanku. Setiap kali mendengar cerita tentangku aku hanya bisa terdiam. Sembilan bulan mengandung dengan ngidam yang sangat berat. Perjuangannya tak berhenti sampai disitu. Mama mengalami pendarahan hebat saat melahirkanku. Setiap kali keluargaku menceritakan kisah ini, mereka akan berkata, “kamu tuh harus berterima kasih sama Mama. Nyawa mama menjadi taruhannya saat melahirkanmu.” Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam.
Mama…
Selalu menunjukkan cintanya lewat perbuatan. Aku jarang mendengarkan kalimat sayang dari Mama. Tetapi pelukan, belaian, dan perhatian-perhatian lainnya selalu kudapatkan. Begitulah cara Mama menunjukkan rasa cintanya kepada anak-anaknya. Selalu mengingat hari kelahiran anak-anaknya. Bahkan moment-moment terpenting anaknya masih diingatnya, padahal tak satupun yang dicatatnya dalam buku agenda.
Mama…
Terkadang berbeda pendapat dengannya dan aku harus memilih diam. Bersikap frontal hanya akan melukai hatinya. Memilih waktu yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati. Itulah Mamaku. Beliau takut ketika melihat ada perubahan anaknya. Masih teringat jelas di benakku saat Mama selalu bertanya, “Kamu ikut aliran apa di kampus? Itu jilbab kenapa semakin lama semakin panjang. Jangan-jangan kamu mau pake’ cadar juga.”
Mama yang selalu bertanya hampir setiap hari, “Bukannya sudah lulus?? Kenapa masih sering ke kampus?”
Mama yang selalu menelpon setiap jam menunjukkan pukul 18.00 Wita, “Sudah dimana nak? Anak perempuan keluyuran malam-malam tidak baik.”
Mama dengan nasehat andalannya, “Biar tinggi sekolahmu kalau tidak jago urus rumah tangga, tidak ada gunanya itu sekolahmu. Kelak kalau kamu berumah tangga, jangan terlalu kejar karir. Justru kamu harus mendukung karir suamimu. Karena kalau suamimu jadi orang yang sukses, orang-orang akan bertanya siapa isterinya.”
Mama yang selalu menantikan telpon dari anak-anaknya yang sudah jauh dan sudah memiliki rumah tangganya sendiri.
Mama yang masih saja selalu memberi perhatian meski anak-anaknya sudah dewasa.
Ahhhh Mama….
Masih banyak nasehatmu yang tak bisa lagi kutuliskan. Semua begitu berarti bagiku saat ini.
Aku rindu ditelpon kalau pulang telat. Rindu diintrogasi jika tak ada kabar pulang telat.
Banyak hal yang kurindukan darimu….
Mama…
Engkau masih ingat moment kebersamaan kita. Tepat sebulan kepergian Bapak, saat itu kita shalat berjama’ah berdua. Dan untuk pertama kalinya aku menyatakan isi hatiku padamu,”Mama, Ita minta maaf kalau ada salah. Terima kasih sudah menjadi Ibu buatku. Ita sayang Mama karena Allah.”
Lagi-lagi engkau menjawabnya dengan kalimat yang memaksa air mataku untuk keluar, “Engkau tahu nak, orang tua itu selalu memaafkan anaknya jauh sebelum anaknya meminta maaf. Jaga dirimu baik-baik. Kamu anak perempuan mama satu-satunya. Sehebat apapun saya menasehati kamu kalau kamu yang tidak pintar jaga diri, semuanya akan sia-sia. Jaga kepercayaan yang sudah diberikan kepadamu. Jaga sholatmu, minta selalu sama Allah. Kalau Allah sudah jadi sandaranmu, Allah akan selalu menjaga dan memudahkan urusanmu.”
Sebuah pesan masuk di WA-ku. Aku kembali membaca kalimat pesan yang masuk. Ya, besok 22 Desember yang katanya adalah Hari Ibu. Sampai sekarang pun aku tak pernah tahu mengapa 22 Desember dijadikan sebagai moment Hari Ibu. Buatku pribadi tiap hari adalah hari Ibu. Tetapi izinkan saya menuliskan tentang seorang perempuan yang paling berjasa dalam hidupku.
Aku selalu memanggilnya Mama. Kadang memanggilnya “ummi” tetapi Beliau lebih suka dipanggil Mama. Perempuan yang sudah mempertaruhkan nyawanya saat melahirkanku. Setiap kali mendengar cerita tentangku aku hanya bisa terdiam. Sembilan bulan mengandung dengan ngidam yang sangat berat. Perjuangannya tak berhenti sampai disitu. Mama mengalami pendarahan hebat saat melahirkanku. Setiap kali keluargaku menceritakan kisah ini, mereka akan berkata, “kamu tuh harus berterima kasih sama Mama. Nyawa mama menjadi taruhannya saat melahirkanmu.” Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam.
Mama…
Selalu menunjukkan cintanya lewat perbuatan. Aku jarang mendengarkan kalimat sayang dari Mama. Tetapi pelukan, belaian, dan perhatian-perhatian lainnya selalu kudapatkan. Begitulah cara Mama menunjukkan rasa cintanya kepada anak-anaknya. Selalu mengingat hari kelahiran anak-anaknya. Bahkan moment-moment terpenting anaknya masih diingatnya, padahal tak satupun yang dicatatnya dalam buku agenda.
Mama…
Terkadang berbeda pendapat dengannya dan aku harus memilih diam. Bersikap frontal hanya akan melukai hatinya. Memilih waktu yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati. Itulah Mamaku. Beliau takut ketika melihat ada perubahan anaknya. Masih teringat jelas di benakku saat Mama selalu bertanya, “Kamu ikut aliran apa di kampus? Itu jilbab kenapa semakin lama semakin panjang. Jangan-jangan kamu mau pake’ cadar juga.”
Mama yang selalu bertanya hampir setiap hari, “Bukannya sudah lulus?? Kenapa masih sering ke kampus?”
Mama yang selalu menelpon setiap jam menunjukkan pukul 18.00 Wita, “Sudah dimana nak? Anak perempuan keluyuran malam-malam tidak baik.”
Mama dengan nasehat andalannya, “Biar tinggi sekolahmu kalau tidak jago urus rumah tangga, tidak ada gunanya itu sekolahmu. Kelak kalau kamu berumah tangga, jangan terlalu kejar karir. Justru kamu harus mendukung karir suamimu. Karena kalau suamimu jadi orang yang sukses, orang-orang akan bertanya siapa isterinya.”
Mama yang selalu menantikan telpon dari anak-anaknya yang sudah jauh dan sudah memiliki rumah tangganya sendiri.
Mama yang masih saja selalu memberi perhatian meski anak-anaknya sudah dewasa.
Ahhhh Mama….
Masih banyak nasehatmu yang tak bisa lagi kutuliskan. Semua begitu berarti bagiku saat ini.
Aku rindu ditelpon kalau pulang telat. Rindu diintrogasi jika tak ada kabar pulang telat.
Banyak hal yang kurindukan darimu….
Mama…
Engkau masih ingat moment kebersamaan kita. Tepat sebulan kepergian Bapak, saat itu kita shalat berjama’ah berdua. Dan untuk pertama kalinya aku menyatakan isi hatiku padamu,”Mama, Ita minta maaf kalau ada salah. Terima kasih sudah menjadi Ibu buatku. Ita sayang Mama karena Allah.”
Lagi-lagi engkau menjawabnya dengan kalimat yang memaksa air mataku untuk keluar, “Engkau tahu nak, orang tua itu selalu memaafkan anaknya jauh sebelum anaknya meminta maaf. Jaga dirimu baik-baik. Kamu anak perempuan mama satu-satunya. Sehebat apapun saya menasehati kamu kalau kamu yang tidak pintar jaga diri, semuanya akan sia-sia. Jaga kepercayaan yang sudah diberikan kepadamu. Jaga sholatmu, minta selalu sama Allah. Kalau Allah sudah jadi sandaranmu, Allah akan selalu menjaga dan memudahkan urusanmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar