Bismillah…
Apa kabar teman-teman? Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT…
Hari ini saya ingin berbagi cerita dengan teman-teman. Baru-baru ini saya dan beberapa teman melakukan kunjungan ke rumah salah satu ummahat di Jakarta. Ketika saya menceritakan pengalaman saya ke salah satu teman saya di Makassar, dia meminta saya untuk menuliskan semua cerita yang saya dapatkan dari Beliau agar teman-teman yang lain pun bisa mendapatkan ilmunya. Cerita kali ini berkaitan dengan pernikahan. Meskipun penulisnya belum nikah nih, tapi boleh kan saya berbagi ilmu yang saya dapatkan dari orang lain… ^_^
Beliau orangnya sederhana, humoris, dan ramah. Beliau tidak mau dipanggil ustadzah, beliau lebih senang dipanggil “Ummi”. Oleh karena itu, saya tidak ingin menyebutkan namanya. Saya menyebutnya Ummi saja ya. Berikut kisah pengalaman beliau dan pengalaman ummahat yang lain yang pernah curhat kepada Beliau.
Kehidupan pernikahan bukanlah hal yang mudah. Jalannya tidak selalu berada di jalan tol yang bebas hambatan tanpa macet. Kadang kita berada di jalan yang penuh dengan kerikil tajam. Karena itu, hal pertama yang harus kita lakukan sebelum menikah adalah menumbuhkan keyakinan bahwa sebaik-baik yang mempertemukan adalah Allah. Skenario Allah itu selalu jauh lebih indah dibanding skenario manusia. Kita tak pernah tahu jodoh itu datangnya dari mana. Karena itu yakinlah bahwa Allah akan memilihkan kita jodoh yang tepat, pada waktu yang tepat. Dengan cara apa? Biarlah Allah yang mengatur pertemuan kita. Tak perlu sibuk membuang-buang waktu dengan berpacaran karena pacaran setelah pernikahan itu akan jauh lebih indah. Lagian pacaran itu hanya akan menambah dosa kan?
Beberapa orang yang curhat ke Beliau, hampir semuanya mengalami konflik di awal-awal pernikahannya. Menurut Beliau, hal ini disebabkan karena ada dua perbedaan akan disatukan. Perbedaan tersebut sebenarnya tak perlu dipaksakan untuk disatukan, tetapi yang perlu ditumbuhkan adalah rasa saling pengertian dan menghargai. Contoh kecilnya, ada seorang akhwat di awal pernikahannya berkonflik dengan suaminya hanya karena gara-gara “sarung”. Suaminya punya kebiasaan setiap kali selesai sholat meletakkan sarung sesuka hatinya. Si isteri yang terbiasa hidup rapi awalnya santai-santai saja, lama kelamaan si isteri mulai merasa kurang nyaman dengan kebiasaan suaminya. Karena bukan hanya sarung yang suka diletakkan sembarangan, tetapi handuk juga diletakkan sembarangan. Jika dilihat dari permasalahannya sangat sederhana, “masalah sarung”. Tetapi disinilah dibutuhkan rasa saling pengertian diantara keduanya karena keduanya datang dari dua pola asuh yang berbeda.
Selain rasa saling pengertian, maka di pernikahan inilah ujian kesabaran yang sesungguhnya. Suami istri ini diuji kesabarannya dalam menghadapi pasangannya, mertuanya, anaknya, dan sebagainya. Mereka akan selalu dihadapkan pada kondisi yang akan menguji kesabaran mereka. Karena seperti kita ketahui bahwa menikah itu menyempurnakan setengah dien kita. Oleh karena itu, bagi kalian yang belum menikah jangan terlalu banyak mengeluh karena ujiannya belum seberapa dibanding dengan orang-orang yang sudah menikah.
Bagi pasangan yang aktif di dunia dakwah, maka hal terpenting yang juga harus dipikirkan adalah “supporting system”. Jika awalnya semua pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh isteri, maka ketika sudah ada anak sementara amanah semakin bertambah, maka suami isteri harus memikirkan “supporting system” yang akan membantu aktivitas dakwah mereka. Misalnya, kendaraan, mesin cuci, kulkas, bahkan kehadiran seorang khadimat (pembantu). Ada beberapa pasangan yang kurang setuju dengan menghadirkan khadimat di dalam rumah tangga mereka. Mereka tidak mau menyerahkan pengasuhan anaknya kepada orang lain. Tetapi dari pengalaman Beliau, ada satu hal yang menarik. Ketika Beliau memiliki amanah dakwah yang sangat banyak sehingga Beliau harus sering meninggalkan anaknya dengan pengasuhnya, ada beberapa kejadian yang membuat Beliau terkejut. Contohnya saja, anaknya yang bungsu masih di TK tiba-tiba sudah bisa membaca padahal Beliau belum pernah mengajarinya, anaknya yang duduk di bangku SMA selalu berada di rangking 5 besar di sekolahnya, padahal Beliau jarang menemani anaknya belajar.
Lalu apa rahasianya?
Rahasianya adalah DOA. Beliau selalu mendoakan anaknya. Aktivitas dakwahnya yang banyak membuatnya tak pernah punya banyak waktu untuk anaknya. Karena itu Beliau menitipkan anak-anaknya kepada Allah. Ada satu hal yang beliau yakini bahwa “Barang siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya”. Itulah yang Beliau yakini dan Beliau lakukan hingga sekarang. Dan kejutan-kejutan dari anaknya itu selalu datang. Keberkahan aktivitas dakwah itu Beliau rasakan lewat anaknya.
Hal lain yang perlu kita latih adalah manajemen waktu. Kalau dulunya ketika sendiri, kita bebas mengatur waktu sesuka hati kita maka sekarang tidak lagi. Bagi perempuan, ia harus bisa mengatur waktunya untuk memasak, mencuci, menyetrika, membereskan rumah, bersosialisasi dengan tetangga, dan sebagainya. Begitu pun dengan suami, dia tak boleh lagi seenaknya mengatur waktu seperti ketika dia belum menikah. Dia harus mampu membagi waktu antara keluarga, pekerjaan, dan aktivitas-aktivitas lainnya di masyarakat.
Lalu ada satu pertanyaan yang sering saya dapatkan, yaitu sekarang ini banyak yang memilih untuk tidak menikah karena mereka hanya ingin menikah dengan orang yang tempat ngajinya sama dengan dia (sefiqroh atau sepergerakan). Apakah memang harus seperti itu?
Beliau menjawab seperti ini, menikah dengan orang yang tempat ngajinya sama dengan kita atau sefiqroh dengan kita memang bagus. Karena kita tentunya sudah memiliki banyak kesamaan dan aktivitas dakwah kita pun akan semakin lancar. Tetapi saya belum pernah mendapatkan ayat atau pun hadist yang mengatakan bahwa menikahlah dengan orang yang tempat ngajinya sama dengan dirimu atau sefiqroh dengan dirimu. Dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, Rasulullah bersabda: “Jika datang kepada kalian (hai calon mertua) orang yang kalian sukai (ketaatan) agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Sebab, jika kamu sekalian tidak melakukannya, akan lahir fitnah (bencana) dan akan berkembang kehancuran yang besar di muka bumi.”
Oleh karena itu, ada satu hal penting yang harus kita lakukan sebelum memutuskan untuk menikah, yaitu KESEPAKATAN. Jika Anda menikah dengan orang yang tidak sepemikiran dengannya, maka buatlah kesepakatan. Contoh kasus yang pernah ada adalah ada seorang laki-laki yang belum pernah ngaji datang melamar seorang perempuan yang sudah memiliki pemahaman yang bagus tentang islam. Setelah sholat istikharah, akhwat ini pun menerima lamaran laki-laki ini dengan mengajukan satu syarat, “saya akan menikah dengan Anda, tetapi dengan syarat Anda tidak boleh berhenti belajar”. Laki-laki ini pun menerima syarat tersebut. Setelah menikah, laki-laki ini selalu mengantar isterinya untuk ngaji. Secara otomatis dia pun harus ikut ngaji karena menunggui isterinya, dan akhirnya sekarang sang suami pun sudah memiliki pemahaman islam yang baik dan sudah ngaji bersama isterinya. Keluarga dari suaminya ini turut merasa bahagia melihat perubahan anaknya setelah menikah.
Lalu bagaimana ketika kita sudah berusaha, namun pasangan kita belum juga mendapatkan hidayah?
Jawaban Beliau seperti ini, suami atau isteri datang dari dua pola asuh yang berbeda. Keduanya datang dari didikan yang berbeda. Karena itu jangan memaksakan sesuatu. Ketika kita sudah berusaha, maka berdoalah. Karena sesungguhnya hidayah itu adalah hak priogratif Allah. Ketika kita belum bisa mengajak pasangan kita pada kebaikan, maka fokuslah pada anak-anak kita. Melalui tangan-tangan kitalah mereka akan terbentuk. Anak adalah investasi kita di akhirat kelak, sebagaimana dikatakan bahwa salah satu amal yang tak ada putusnya adalah anak sholeh yang mendoakan orang tuanya. Oleh karena itu, janganlah pernah berputus asa dari rahmat Allah karena rahmat Allah begitu luas. Namun, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh seorang akhwat saat akan menerima pinangan adalah calon suami kita nantinya adalah orang yang akan mendukung aktivitas dakwah kita. Karena saat ini banyak kasus akhwat, setelah menikah tiba-tiba menghilang dari aktivitas dakwah.
Di akhir pembicaraan kami, ada satu pernyataan yang membuat kami bersemangat untuk terus berada di jalan dakwah ini. Kata beliau seperti ini, “Dunia itu bukan tempatnya enak, tetapi tunggulah nanti di surga. Berikanlah kesabaran di atas kesabaran, maka pertolongan Allah akan datang segera.”
# Tulisan ini berdasarkan pengalaman beberapa ummahat dan pengalaman dari beberapa teman yang pernah bercerita kepada saya…
Terima kasih buat Ummi yang sudah berbagi ilmu dengan kami…
Semoga Bermanfaat…
Wallahu a’lam bi shawab…^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar