Rabu, 15 Januari 2014

My First Love, Bolehkah Kita Bertemu di Ruang Rinduku?

Sore itu cuaca mendung, namun hujan tak jua turun. Aku duduk menatap langit sambil mendengarkan lagu yang diputar oleh supir busway. Sebuah lagu kenangan. Mungkin supirnya suka lagu-lagu tempo dulu. Mungkin saja.

Saat busway mampir di salah satu halte, seorang Bapak masuk naik ke busway sambil menggandeng putri kecilnya yang usianya kira-kira 5 tahun. Bapak tadi duduk di hadapanku. Beliau memberikan terlebih dahulu tempat duduknya kepada putri kecilnya baru kemudian Beliau duduk juga disampingnya. Putri kecilnya tersenyum memandang ayahnya. Sepertinya mereka akan jalan-jalan. Putri kecil itu lalu bertanya, “Masih jauh ya Pa?”

“Sabar sayang. Sebentar lagi, ada dua halte lagi baru kita nyampe,” jawab Bapak itu kepada putri kecilnya.

Hari itu busway sepi dan aku bisa mendengarkan percakapan mereka. Putri kecil itu tampak terus memegang lengan ayahnya. Sepertinya dia ketakutan kalau dia terpisah jauh dari ayahnya. Sesekali dia memandang ke depan dan sesekali dia memandang kembali ayahnya sambil tersenyum. Ketika busway yang kami tumpangi tiba di halte tujuan mereka, Bapak itu lalu membantu putri kecilnya turun dari kursi busway. Putri kecil itu tak pernah mau melepaskan genggaman tangan ayahnya. Begitu pun sebaliknya. Bapak itu pun membantu putri kecilnya melangkah turun dari busway. Aku terus memandangi mereka yang berjalan sambil bergandengan tangan. Hingga mereka betul-betul hilang dari pandanganku.

Mataku sudah berkaca-kaca sejak Bapak itu masuk ke dalam busway. Wajahnya mengingatkanku kepada sosok laki-laki pertama yang kucintai. Cara Beliau memperlakukan putri kecilnya, begitulah cara Bapak memperlakukanku dulu saat aku masih kecil.

Saat masih sekolah di taman kanak-kanak, aku akan berlari ke gerbang sekolah. Mencari sosok laki-laki yang hampir selalu datang menjemputku. Saat melihatnya, aku akan berlari menghampirinya dan memegang tangannya. Dia akan menyambutku dengan senyuman hangatnya. Sosok Bapak yang lebih banyak diam, tetapi akan menunjukkan sikap jika anaknya berperilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam. Itulah ayahku.

Setiap kali pulang sekolah, aku akan berjalan bergandengan tangan dengannya. Letak sekolah yang tak jauh dari kantor Bapak, jadi Bapaklah yang hampir setiap hari menjemputku. Saat menjemput pun Beliau tak mengantarkanku ke rumah. Beliau akan mengajakku ke kantornya. Setiap kali ke kantornya, kami selalu mampir di salah satu toko kecil dekat sekolahku. Aku selalu meminta dibelikan permen warna-warni. Kalau sekarang permen itu namanya permen cha-cha. Dulu apa ya namanya? Entahlah... aku hanya ingat permen warna-warni. Mungkin itu sebabnya aku suka makan permen cha-cha. Permen itu adalah kenangan aku dan Bapak.

Saat tiba di kantor, Bapak akan memintaku duduk di kursinya. Dia akan memintaku menunggu sebentar karena Beliau mau menyelesaikan pekerjaannya. Aku pun menurutinya. Aku duduk di kursinya, memandangi ruang kerjanya. Saat itu aku belum tahu betapa sulitnya mencari uang. Aku hanya bisa memandangi Bapak yang sibuk mengurus beberapa kertas-kertas. Entah kertas-kertas apa, membaca dengan serius, keluar ruangan, masuk lagi. Aku hanya memandanginya sambil menikmati permen warna-warni yang dibelikan oleh Bapak. Saat Bapak tak ada dalam ruangan, datang Mas penjual bakso di kantin kantor Bapak. Mas baksonya membawa semangkok bakso. Ternyata Bapak sudah memesankanku semangkok bakso. Aku pun menikmati makanan pesanan Bapak dengan lahap. Ya, aku memang suka bakso. Ahhh, Bapak selalu suka kesukaan putri kecilnya.

Ketika jam istirahat sudah tiba, Bapak akan mengajakku pulang. Bapak akan mengantarkanku pulang ke rumah sekalian makan siang lalu kembali lagi ke kantor. Kami lagi-lagi jalan berdua sambil bergandengan tangan. Saat itu ekonomi keluarga kami belum seperti sekarang. Di saat beberapa temanku dijemput dengan kendaraan mewahnya, kami selalu berjalan sambil bergandengan tangan. Bersyukur jarak sekolahku, kantor bapak, dan rumah tidak begitu jauh. Bapak selalu mengajarkan kami untuk hidup sederhana dan tidak melihat ke atas. Bapak selalu mengajari kami mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah. Meskipun sedikit yang penting halal. Bapak bekerja keras untuk membiayai kuliah kakak-kakakku. Bapak selalu ingin melihat anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Pendidikan yang paling ditekankannya adalah pendidikan agama. Bapak sangat tegas jika kami membantah hal-hal yang berhubungan dengan perintah Allah. Aku masih ingat ketika aku membantah Mama, Bapak sampai marah dan tidak mau mengajakku bicara. Aku pun memilih diam dan mengunci diri dalam kamar. Kejadiannya saat aku masih duduk di bangku SD. Toh pada akhirnya, aku yang langsung meminta maaf ke Mama.

Setiap kali manghrib tiba, Bapak akan mengajakku ke masjid. Lagi-lagi kami berjalan bergandengan tangan. Saat berjalan menuju masjid, Bapak banyak mengajariku banyak hal. Semua yang diajarkannya baru aku pahami saat aku dewasa. Waktu itu aku memiliki banyak waktu dengan bapak karena kakak-kakakku sudah pada kuliah di Jogja dan Makassar. Tinggal aku berdua dengan K’ Iping. Dan Bapak berhasil memberiku kenangan masa kecil yang membahagiakan.

Setiap kali menjelang tidur, aku akan memilih tidur dekat Beliau. Bapak suka menceritakan kisah-kisah para Nabi dan Rasul sebelum tidur. Aku selalu tidur berbaring di lengannya. Dia akan bertanya, “Malam ini mau mendengar kisah siapa? Nabi Ibrahim? Nabi Muhammad atau Lukmanul Hakim?”
“Nabi Ibrahim!!!” jawabku sambil memperbaiki posisi tidurku.

Beliau pun memulai ceritanya sambil mengipas-ngipasku dengan sarung  yang ada di tangannya. Entah mengapa aku selalu suka dengan kisah Nabi Ibrahim saat itu. Meskipun Bapak selalu mengulang-ulangnya aku selalu suka dengan kisah tersebut. Seorang Bapak yang rela menyembelih anaknya hanya karena kecintaannya kepada Allah. Aku selalu bertanya, siapakah Allah itu sampai Nabi Ibrahim rela menyembelih anaknya. Tapi saat itu aku hanya menjadi pendengar. Aku hanya suka mendengar cerita Bapak. Aku juga suka dengan cara bapak bercerita yang seolah-olah kejadian tersebut ada di depan mataku. Saat itu bapak tidak suka kalau kami terlalu banyak menonton TV. Apalagi saat itu lagi marak-maraknya telenovela dan film India. Bapak sangat tidak suka jika anak-anaknya menonton tontonan seperti itu. Sampai-sampai suatu hari ketika membangunkan kakak, Beliau mengatakan, “Ayo bangun sholat di masjid. Di masjid ada film India lhoo.” Kalimat itu sepertinya bercanda, tetapi bagi kami anak-anaknya kalimat itu adalah teguran keras bagi kami yang melalaikan sholat di masjid.

“Halte UNJ!!!!”
Teriakan petugas busway tadi membuyarkan semua kenangan masa kecilku di kampung halaman. Semua kenangan itu tiba-tiba hadir di depanku seperti sebuah tayangan iklan. Aku tersadar dan langsung bersiap-siap untuk turun. Butiran salju itu sudah mau jatuh, tetapi aku berusaha menahannya. Aku berusaha mengalihkan perhatianku dengan memandangi aktivitas orang-orang yang ada di busway. Aku pun bergegas turun dari busway.

Terlalu banyak kenangan indah masa kecilku yang engkau berikan untukku. Dan sekarang aku berada di perantauan. Aku masih ingat ketika pertama kali aku  meminta izin pengen kuliah di Jawa. Bapak tak pernah mengizinkannya. Anak perempuan tak baik merantau jika belum ada mahrom. Itulah Bapakku. Selalu berusaha menjaga anak perempuannya. Meskipun waktu itu, aku sempat protes mengapa aku tak pernah boleh sekolah ke Jawa seperti kakak? Dan sekarang setelah merantau, aku jadi tahu mengapa Bapak tak pernah mengizinkanku. Sekarang aku harus berusaha menjaga diri sendiri, tak ada lagi yang memarahi saat jam sudah menunjukkan pukul 18.00 dan saya masih berkeliaran di kampus. Tak ada lagi bunyi dering telpon saat jam menunjukkan pukul 18.00 sambil bertanya, “Dimana? Anak perempuan tak baik berkeliaran malam-malam apalagi sendiri?”

Bapak...
Terima kasih untuk semuanya...
Dulu aku selalu bertanya mengapa aku selalu diperlakukan beda dibanding dengan kakak-kakakku. Selalu merasa kalau Bapak terlalu over protective kepadaku. Dan sekarang aku mengerti semuanya. Kelak jika aku memiliki anak perempuan, mungkin aku akan melakukan hal yang sama sepertimu. Menjaganya dengan sebaik mungkin. Bersikap tegas kepada anak laki-lakinya karena kelak dia akan menjadi seorang pemimpin dalam keluarganya.

Bapak...
Terima kasih untuk semua kenangan indah yang telah engkau berikan untukku...
Terima kasih untuk semua kasih sayangmu...
Janjimu menemaniku selama dua tahun pun engkau tepati...
Meskipun cita-citamu melihat putri kecilmu di wisuda tak bisa terwujud, aku yakin engkau sudah jauh lebih bahagia disana. Aku selalu berdoa, setiap ilmu yang kupelajari dan kuajarkan kepada orang lain, jika semua itu bernilai kebaikan dihadapan Allah semoga pahalanya pun mengalir untukmu.

Bapak...
Terima kasih untuk semuanya. Kenangan saat terakhir di kamar itu...
“Ita sayang Bapak karena Allah. Ita minta maaf jika ada salah sama Bapak.” Itulah kalimat perpisahan kita dan engkau pergi meninggalkanku untuk selamanya. Semua seperti sebuah mimpi bagiku. Engkau pergi di saat aku sedang berjuang untuk mewujudkan cita-citaku untuk menjadi seorang dokter. Tetapi tak ada siaran tunda bagi Allah. Jika waktunya sudah tiba, maka tak ada lagi kompromi. Ita minta maaf tak bisa mewujudkan keinginanmu. Aku sudah tidak terobsesi dengan cita-cita itu. Aku lebih bahagia menjadi putri kecilmu yang kelak bisa membahagiakanmu di hadapan Allah.

Bapak...
Aku rindu Bapak...
Sangat rindu...
Hingga dada ini terasa sesak dan aku hanya bisa menangis dalam diamku...

Bapak...
Terima kasih...
Kata ini mungkin tak akan bisa membalas setiap kebaikan yang engkau ajarkan untukku.
Berharap...
Allah akan membalas setiap kebaikan yang engkau berikan untukku...
Allah akan membalas setiap kasih sayang yang pernah engkau berikan untukku...
Allah akan membalas setiap ilmu yang engkau ajarkan padaku...
Bapak...
Merindukanmu selalu...
Selalu...
Selalu...
Selalu...
Dan selalu...
Semoga Allah mengumpulkan kita di surga-Nya kelak...
Seperti yang engkau katakan setiap kali mendongengkanku sebelum tidur...
“Manusia itu nak tempat terakhirnya nanti di Surga. Engkau tahu bagaimana surga itu? Sangat indah. Lebih indah dari apa yang Ita lihat di dunia ini. Di sana kamu bisa minta apa saja sama Allah.”

“Kalau Ita mau es krim?” tanyaku sambil membayangkan keindahan surga saat itu.

“Kalau Ita mau es krim, maka es krimnya langsung ada dihadapan Ita. Jadi tidak perlu capek-capek kerja, tidak perlu beli. Semuanya sudah ada. Apa yang Ita mau pasti ada. Tapi orang yang bisa masuk surga hanya orang-orang yang rajin sholat, rajin mengaji, rajin belajar, tidak suka membantah kalau ada nabilang orang tuanya. Jadi, kalau Ita mau masuk surga harus rajin sholat, rajin mengaji, mendengar kalau orang tua lagi menasehati.”

“Iya Bapak,” jawabku sambil memeluknya.

Aku masih ingat nasehat yang selalu engkau sampaikan di akhir kisah-kisah sebelum tidurku. Dan sekarang aku berusaha untuk menjalankan nasehat-nasehatmu.
Terima kasih Bapak...
Semoga Allah memberikanmu tempat terbaik disisi-Nya...
Aamiin ya Robbal ‘alamin

Bapak...
Sekarang aku sudah menjalani masa-masa proposal tesis. Terkadang aku enggan untuk menyelesaikannya. Engkau tahu mengapa?
Bayangan orang-orang yang diwisuda dan didampingi oleh orang tuanya kembali datang menghampiriku. Bukan aku tak suka melihat mereka bahagia yang wisuda dan didampingi orang tuanya. Tetapi aku tak mau melihat Mama menangis. Aku tak mau melihat air mata Mama jatuh lagi karena mengingatmu seperti wisuda kemarin.
Setiap kali bayangan itu datang menghampiriku, aku hanya berdoa kelak akan membuatmu bangga saat dihadapan Allah...
Semoga aku bisa membuat Bapak dan Mama bangga dihadapan Allah...
Aamiin ya Robbal ‘alamin...


#Jakarta, 20 November 2013
Saat jam menunjukkan pukul 23.34 WIB...
Saat aku tak bisa lagi menahan rinduku padamu...
My first love...
Semoga Allah memaafkan dosa-dosamu dan memberimu tempat terbaik disisi-Nya...
Aamiin ya Robbal 'alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NUTRISI UNTUK PASIEN COVID-19

    Pasca postingan tulisan pengalaman saya menghadapi Covid-19 di instagram  (@cerita_bonita), banyak teman yang DM dan japri bertanya ...