Bismillah...
Saat aku hadir di dunia ini, aku menangis sejadi-jadinya. Aku berada di sebuah tempat yang sangat berbeda ketika aku masih berada dalam rahim ibuku. Katanya aku sekarang berada di "dunia". Ya Allah, seperti apakah dunia ini? Apakah tempatnya akan membuatku nyaman?
Allahu Akbar Allahu Akbar!!!!
Waahhhh ada seorang laki-laki yang menyebut nama-Mu ya Allah. Dia mengagungkan nama-Mu di kedua telingaku. Dia siapa ya Allah?
Ternyata dia adalah ayahku. Laki-laki pertama yang kukenal dalam hidupku. Ya Allah, terima kasih Engkau memberikanku ibu dan ayah yang akan menemaniku di tempat yang baru ini.
Semenjak kehadiranku, rumahku selalu ramai. Aku selalu digendong oleh orang-orang yang berbeda. Ada yang mencubit pipiku, memencet hidungku, memainkan jari-jariku, dan ada-ada saja yang mereka lakukan kepadaku. Apakah aku begitu menggemaskan? Entahlah... tapi aku senang melihat mereka semua tersenyum saat melihatku.
Hari demi hari kulewati bersama dengan orang tuaku. Aku bahagia saat berada ditengah-tengah mereka. Kehadirannya membuat hatiku bahagia. Ya, aku sangat membutuhkan mereka. Aku masih belum tahu seperti apa "kehidupan dunia" ini. Saat ayah dan ibu membawaku ke tempat keramaian, aku suka menangis. Aku takut melihat orang yang begitu banyak. Mereka menatapku dengan pandangan yang berbeda-beda. Ada yang tersenyum, ada yang menatapku datar tanpa senyuman sedikit pun. Aku pikir semua orang di dunia ini suka tersenyum seperti orang-orang yang pernah datang ke rumahku.
Saat aku berusia 2 tahun, aku diantar oleh ayah dan ibuku ke suatu tempat. Di tempat itu banyak anak-anak yang seusiaku. Ini tempat apa lagi ya Allah? Ternyata masih banyak tempat yang belum kudatangi di dunia ini. Tiba-tiba seorang perempuan mengambilku dari pangkuan ibuku. Aku pun menangis sekuat-kuatnya. Ya Allah, siapa orang asing ini? Aku tidak mau pisah dari ayah dan ibuku. Aku mau sama ayah dan ibu! Aku tidak mau main dengan orang asing!
Ibu pun membujukku agar berhenti menangis. Orang asing ini pun berusaha membuatku diam. Tetapi aku tidak mau. Aku mau digendong sama ayah dan ibu. Aku tidak mau jauh dari mereka. Orang asing itu tampak berbicara dengan ibuku dan menenangkannya. Tiba-tiba ayah dan ibu pergi meninggalkanku. Aku ditinggal di tempat asing tersebut dan aku masih digendong oleh orang yang tak pernah kukenal sebelumnya. Aku menangis saat melihat ayah dan ibu memasuki mobil. Mengapa mereka meninggalkanku? Mengapa aku ditinggal dengan orang asing ini? Tangisanku semakin keras. Aku bertanya pada Allah, "Apakah kehadiranku sudah tak dibutuhkan lagi oleh mereka?" Orang asing ini terus membujukku agar diam. Aku pun kelelahan. Aku lelah melakukan aksi protesku. Aku pun tertidur. Tidur dengan sejuta pertanyaan, "mengapa ayah dan ibu meninggalkanku?"
Saat terbangun, aku kembali melihat wajah orang asing itu. Dimana ayah dan ibuku? Mengapa mereka belum juga hadir dihadapanku? Aku kembali menangis. Aku hanya ingin berada di samping mereka. Setelah sekian lama menangis, akhirnya mereka berdua datang menjemputku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku mau protes,"mengapa mereka tega meninggalkanku dengan orang asing ini?"
Dan ternyata...
Kejadian kemarin kembali terulang. Bukan cuma sekali tetapi setiap hari. Aku akhirnya menyerah pada kondisi. Aku harus berdamai dengan orang asing ini. Dan akhirnya kuketahui dari cerita orang-orang di sekitarku kalau tempat asing ini namanya "Tempat Penitipan Anak". Aku harus bermain dengan anak-anak yang nasibnya sama dengan diriku. Ditinggalkan oleh orang tua kami yang harus bekerja.
Saat usiaku 3 tahun, aku kembali diantar oleh ayah dan ibuku di tempat yang baru. Katanya tempat ini namanya "Kelompok Bermain". Apapun namanya, aku lebih suka saat bersama dengan ayah dan ibuku, tetapi ayah dan ibuku harus bekerja. Aku harus menerima semua kondisi itu. Dan kejadian yang sama terus berulang saat aku berusia 4 tahun. Aku diantar oleh ayah dan ibuku ke tempat yang baru. Ibu bilang sekarang aku sudah TK. Temanku sekarang banyak. Aku mulai bisa menerima orang asing dalam hidupku. Lagi-lagi aku harus belajar berdamai dengan kondisiku.
Semenjak ayah dan ibu mengenalkanku dengan tempat dan aorang-orang asing tersebut, aku mulai belajar untuk tidak melakukan aksi protes. Aku berpikir semua aksi protesku akan sia-sia karena mereka akan tetap meninggalkanku.
Hingga suatu malam saat ayahku pulang kantor, aku pernah mengajaknya untuk bermain bersama. Waktu itu usiaku baru 6 tahun. Tetapi ayah malah memarahiku. Katanya ayah capek bekerja di kantor. Aku main saja dulu sama bibi. Aku terdiam. Aku takut melihat wajah ayahku saat marah. Aku pun kembali ke kamar dan bermain sendiri. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku bermain dengan mainan-mainan yang dibelikan oleh ayah dan ibuku. Ayah dan ibu selalu pulang malam. Mereka selalu terlihat lelah saat pulang. Aku tak mau menggangu mereka saat pulang dari kantor. Aku takut mereka akan marah lagi padaku. Aku kadang penasaran seperti apa pekerjaannya di kantor hingga tak ada lagi waktu untukku.
Saat aku kelas 3 SD, aku bahagia sekali. Aku sangat senang kalau gurunya memberikan tugas kelompok. Itu artinya aku punya kesempatan untuk bermain dengan teman-temanku. Aku bosan dengan mainan-mainan yang ada di rumah. Ditambah lagi tak ada teman bermain. Ayah dan ibu selalu pulang malam. Bibi pun sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun lebih banyak menghabiskan waktuku dengan teman-temanku. Dan semua ini kulakukan hingga aku duduk di bangku SMP. Aku bahkan sudah sering pulang malam. Aku membuat alasan kerja kelompok agar bisa keluar rumah. Aku benci dengan suasana rumah yang tak ada lagi kehangatan.
Hingga suatu hari, ayah dan ibu memanggilku. Ternyata guru di sekolah menelpon ibuku dan menyampaikan kalau nilaiku di sekolah menurun. Guruku juga menyampaikan semua kelakuanku di sekolah, seperti kebiasaanku tidur di kelas, bolos dari beberapa mata pelajaran, dan masih banyak lagi laporan lainnya.
Aku tertunduk diam. Lagi-lagi aku takut melihat wajah ayahku ketika marah. Tiba-tiba ibuku menangis dan bertanya,"Ada apa dengan anak ibu? Sepertinya ibu sudah tak mengenali anak ibu yang dulu?"
Aku diam. Aku bingung harus menjawab apa. Banyak yang ingin kusampaikan, tetapi pertanyaan ibu yang bertubi-tubi, ekspresi wajah ayah yang menakutkan membuatku tak bisa berkata-kata. Aku lebih banyak diam mendengar semua pertanyaan dan nasehat dari ibuku. Ayah lalu menyuruhku masuk kamar. Aku pun mengikuti perintahnya. Aku masuk kamar dan mengunci pintu. Aku meraih bantal dan kututup wajahku dengan bantal itu. Aku pun menangis. Aku berusaha agar tangisanku tidak kedengaran.
Mengapa tak ada yang mengerti?
Mengapa tak ada yang mau mengerti aku?
Mengapa orang dewasa itu rumit sekali?
Aku pun mengambil selembar kertas dan pulpen. Aku pun mulai menulis...
Assalamu 'alaikum wr.wb...
Ayahku yang selalu kubanggakan...
Ibuku yang selalu kusayangi...
Annisa mohon maaf harus menuliskan surat ini. Annisa tak bisa menyampaikannya secara langsung kepada ayah dan ibu. Annisa takut akan semakin membuat ayah dan ibu marah sama Annisa.
Ayah dan ibuku yang selalu kucintai...
Annisa minta maaf sudah membuat ayah dan ibu marah. Annisa tak pernah menyangka kalau ayah dan ibu akan marah seperti tadi. Annisa juga minta maaf karena sudah membuat ayah dan ibu khawatir.
Tapi...
Ayah dan ibuku yang selalu kurindukan...
Jujur saja, Annisa senang melihat ayah dan ibu marah sama Annisa. Itu tandanya ayah dan ibu masih sayang sama aku. Ayah dan ibu masih perhatian sama aku.
Ayah dan ibu yang selalu kurindukan...
Annisa cuma mau bilang kalau aku sangat merindukan ayah dan ibu. Aku rindu dengan ayah dan ibuku yang dulu selalu menemaniku bermain. Aku rindu dengan ayah dan ibuku yang selalu memelukku saat aku menangis. Aku rindu ayah dan ibuku yang selalu mengajakku ke tempat-tempat yang baru.
Tetapi waktu rasanya terlalu cepat berlalu...
Ayah dan ibuku sudah diambil oleh "dunia"...
Aku bahkan tak menemukan ayah dan ibuku yang dulu. Aku tahu ayah dan ibu sangat lelah bekerja di kantor. Aku tahu ayah dan ibu capek menghadapi orang-orang di kantor.
Tetapi...
Bolehkah aku meminta waktu ayah dan ibu 10 menit saja setiap hari?
Bolehkah aku meminta waktu ayah dan ibu 10 menit saja dari 24 jam yang diberikan oleh Allah?
Hanya 10 menit...
Tak lebih...
Aku hanya ingin bercerita...
Aku ingin menceritakan pengalamanku di sekolah...
Aku ingin bercerita tentang guruku yang suka memarahiku karena aku katanya tak ada perhatian saat di kelas...
Aku ingin bercerita tentang temanku yang suka menertawakanku karena ayah dan ibu tak pernah menghadiri acara di sekolah...
Aku ingin bercerita betapa susahnya ujian di sekolah...
Aku ingin bertanya tentang materi yang disampaikan oleh guru agamaku yang katanya sekarang aku sudah baligh...
Aku ingin bercerita kalau kemarin aku hampir ditabrak motor karena melamun saat berjalan...
Aku hanya ingin bercerita...
Hanya itu...
Karena aku tak tahu kemana aku harus bercerita...
Karena aku bingung pada siapa aku harus bercerita...
Ayah dan ibuku yang selalu kurindukan...
Aku iri mendengar cerita teman-temanku.
Aku iri saat mereka bercerita bahwa semalam dia baru nonton bareng dengan ayahnya...
Aku iri saat mereka bercerita kalau setiap hari mereka sholat berjama'ah dengan orang tuanya di rumah...
Aku iri saat mereka bercerita kalau mereka selalu makan bersama...
Aku hanya bisa terdiam mendengar cerita-cerita mereka. Aku tak tahu harus menjawab apa karena aku tak tahu rasanya seperti apa. Aku sudah lama tak mengalami kejadian-kejadian itu. Hingga temanku bertanya sebenarnya aku sering ngga sih menghabiskan waktu dengan ayah dan ibu?
Ayah dan ibu tenang saja. Aku tak akan bercerita dengan kondisi rumah kita. Tetapi maaf, aku harus berbohong. Aku bercerita kalau ayah dan ibuku sangat baik. Mereka adalah orang tua terbaik yang pernah kumiliki karena selalu menghabiskan waktu dengan anaknya di sela-sela kesibukannya bekerja.
Ayah dan ibuku yang masih saja selalu kurindukan...
Annisa mohon maaf kalau ada yang salah dalam surat ini.
Lagi-lagi Annisa hanya ingin mengatakan kalau aku sangat sayang ayah dan ibu. Dan Annisa rindu dengan ayah dan ibu. Sangat rindu.
Wassalam...
Ananda, Annisa
Kubaca kembali surat itu dan kumasukkan dalam sebuah amplop. Aku pun segera tidur.
Besok aku akan meletakkan surat itu di meja makan sebelum berangkat ke sekolah. Semoga setelah membaca suratku, aku kembali menemukan ayah dan ibuku yang dulu.
Aamiin ya rabbal 'alamin...
#Jakarta, 24 Januari 2014
Terinspirasi dari cerita seorang ibu yang melihat perubahan anaknya yang sudah mulai remaja. Beliau bingung dengan perubahan yang dialami oleh anaknya.
Semoga cerita di atas bisa memberi manfaat buat teman-teman semua.
Cerita di atas memberikan pelajaran buat saya pribadi bahwa rumah adalah institusi pendidikan yang pertama bagi anak. Dan orang tua punya peranan yang penting dalam melahirkan anak-anak yang tangguh.
Tangguh menghadapi zamannya. Tangguh menghadapi setiap ujian. Tangguh menghadapi orang-orang di luar sana yang berniat menjerumuskannya ke tempat-tempat yang bisa merusak masa depannya.
Anak adalah titipan Allah dan mereka adalah investasi bagi para orang tua di akhirat kelak.
Wallahu a'lam bi shawab...
Mohon masukan atau saran untuk tulisan saya ya...
Terima kasih ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar