Orang-orang tak bisa lagi menutup mata dari
perkembangan zaman yang ada. Salah satu diantaranya adalah perkembangan era
digital dalam kehidupan manusia. Jika dulu kita harus ke pasar untuk membeli sesuatu,
maka sekarang sudah tak perlu lagi. Cukup ambil handphone (HP), klik satu
aplikasi, maka tunggulah beberapa menit pesanan Anda akan datang. Tak hanya
itu, jika selama ini kita harus membeli koran untuk mengetahui berita tentang
negeri ini, sekarang Anda cukup membuka satu aplikasi berita di HP maka semua
berita akan muncul. Jika dulu kita harus mengirim surat untuk memberikan kabar
ke sanak saudara di luar kota bahkan sampai harus menunggu berhari-hari, maka
sekarang kita bisa berkomunikasi via telepon kapan saja. Bahkan sudah sampai
pada komunikasi via videocall.
Begitu banyak kemudahan yang diberikan oleh era
digital saat ini. Namun, era digital yang kita hadapi saat ini ternyata juga ikut
mempengaruhi kondisi beberapa keluarga di Indonesia. Keluarga yang sedang makan
bersama di restoran bukannya saling ngobrol, malah kebanyakan sibuk dengan
gadgetnya masing-masing. Sesekali berfoto bersama untuk kepentingan media
sosial kemudian kembali asyik dengan HP di tangan masing-masing.
Tak hanya sampai disitu, terkadang kondisi di rumah
tak jauh berbeda. Anak yang datang merengek-rengek meminta untuk ditemani
bermain, malah diberikan gadget kemudian dibiarkan main game online. Alasannya
sederhana, mereka memberikan gadget kepada anak karena tidak ingin diganggu.
Kelelahan sehabis bekerja seharian membuat mereka butuh istirahat yang cukup
dan ajakan anak untuk bermain hanya akan menambah kelelahannya. Di kondisi lain
ditemukan ibu yang asyik berteleponan dengan teman-temannya sehingga anak pun
hanya sibuk menonton, tak ada aturan tontonan yang boleh dan tidak boleh ditontonnya.
Pemberian gadget kepada anak seakan-akan dijadikan
sebagai pengganti dari kehadiran orang tua. Setiap kali anak menangis, maka
yang datang dihadapannya bukan orang tuanya tetapi game online atau tontonan
kartun yang tersedia di HP. Ketika anak sedang bersedih karena kehilangan
barang kesayangannya, maka yang dihadirkan untuknya adalah berbagai aplikasi
yang bisa mengalihkan perhatiannya. Boleh jadi saat itu anak mungkin diam dan
memainkan aplikasi di HP yang diberikan kepadanya, tetapi tanpa Anda sadari ada
yang tidak didapatkan oleh anak. Anak tak mendapatkan kasih sayang ketika dia
sedang membutuhkannya. Jadi jangan heran ketika suatu waktu anak melakukan sesuatu
diluar kebiasaannya. Jangan heran jika ada laporan dari guru bahwa anak Anda
berperilaku yang mengganggu jalannya proses pembelajaran. Boleh jadi semua itu
adalah bagian dari caranya untuk mencari perhatian orang tuanya.
Ketika anak sedang mencari perhatian dan mereka
tidak mendapatkannya dari orang tuanya, maka bisa jadi orang lainlah yang
memberikannya. Suatu kesyukuran jika anak mendapatkan lingkungan yang baik di luar
rumah. Sebagai contoh, anak mendapatkan teman-teman yang aktif ikut
kajian-kajian yang bermanfaat atau terlibat dalam pengajian di sekolah. Hal ini
akan memberikan dampak positif kepada anak karena lingkungannya bisa membantu
dalam mengarahkan pembentukan karakternya. Lain lagi ceritanya jika anak malah
mendapatkan lingkungan yang buruk, misalnya mereka bergaul dengan
teman-temannya yang suka menghabiskan waktu di warnet. Kita tak pernah tahu apa yang mereka tonton dengan
teman-temannya. Hal ini juga akan ikut mempengaruhi prestasi belajar anak di
sekolah.
Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian
besar orang tua di Indonesia sudah melupakan perannya sebagai ayah dan ibu di
rumah. Ayah kebanyakan beranggapan bahwa tanggung jawab pengasuhan sepenuhnya
ada di tangan ibu dan dia hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Padahal kebutuhan anak tak sekadar materi, tetapi mereka juga butuh
kasih sayang dan perhatian. Tak berbeda jauh dengan ayah, sebagian besar ibu
pun melupakan tanggung jawabnya. Ibu juga tak mau kalah untuk mengejar karir di
luar hingga melupakan tanggung jawabnya sebagai ibu bagi anaknya.
Perubahan peran yang terjadi di sebagian besar
keluarga di Indonesia ini kembali mengingatkan kita bahwa keluarga adalah
organisasi terkecil dalam masyarakat. Pendidikan karakter kepada anak
seharusnya dimulai dari keluarga. Hal ini disebabkan karena rumah ibarat
sekolah. Di sekolah pertamanya inilah seharusnya anak mendapatkan pendidikan
dan pengasuhan terbaik sehingga mereka siap menghadapi semua tantangan di luar
rumahnya. Ibaratnya di sekolah pertama ini anak mendapatkan sistem imun yang
baik agar ketika keluar dari rumah mereka tidak mudah diserang oleh virus-virus
yang berniat jahat kepadanya. Sejahat apapun virus di luar rumah, maka anak
tidak akan mudah terpengaruh karena sistem imun dari rumah yang sudah kuat
berupa nilai-nilai positif yang membentuk karakternya.
Sekolah pertama ini juga seharusnya menjadi tempat
yang paling menyenangkan bagi anak. Setiap kali anak menghadapi masalah di luar
rumahnya, maka mereka ingin segera pulang ke rumah. Hal ini disebabkan karena
disanalah mereka menemukan rasa aman dan nyaman. Justru mengherankan ketika ada
anak yang lebih nyaman di sekolahnya daripada di rumahnya. Hal ini berarti
bahwa ada sesuatu yang tidak membuat mereka betah di rumah. Boleh jadi karena
kehadiran orang tua tidak lagi berarti buat mereka. Gadget yang diberikan oleh
orang tuanya sudah menjadi pengganti yang menemani mereka melewati
hari-harinya.
Sebuah sekolah pasti punya kepala sekolah, guru, dan
kurikulum. Kepala sekolahnya adalah ayah yang bertanggung jawab sepenuhnya agar
sekolahnya bisa berjalan baik dan aman. Ibu adalah guru atau madrasah utama
bagi anak. Kepala sekolah dan guru harusnya memiliki kesepakatan yang berkaitan
dengan kurikulum yang akan diterapkan dalam keluarga mereka berupa pola asuh
yang akan diterapkan bersama, termasuk di dalamnya aturan dalam penggunaan
gadget.
Mengapa harus ada aturan dalam penggunaan gadget?
Karena gadget ibarat mata pisau, dia bisa bermanfaat tetapi juga bisa menikam
penggunanya kapan saja. Ketika anak diajari dan diberikan aturan dalam
penggunaan gadget, maka benda tersebut bisa bermanfaat untuk dirinya. Sebagai
contoh, anak diberikan aturan tentang konten yang boleh dan tidak boleh mereka
akses serta lamanya waktu yang digunakan untuk menggunakan gadget tersebut.
Jika aturan tersebut jelas dan pengawasan dari orang tua tetap ada, maka gadget
tersebut akan bermanfaat untuk anak. Namun sebaliknya, jika anak tak diberikan
aturan dan batasan dalam penggunaannya, maka gadget ini bisa menikam otak
anak-anak kita. Ditambah lagi tak adanya pengawasan dari orang tua, maka tanpa
disadari kita sendirilah yang telah merusak mereka.
Di era digital ini kita tak bisa memungkiri bahwa
gadget menjadi salah satu tantangan dalam pengasuhan, maka pertanyaan
selanjutnya adalah apakah kita sudah siap menjadi orang tua? Ketika kita sudah
siap untuk menjadi orang tua, maka pilihannya ada di tangan kita apakah mau
menjadikan gadget sebagai mata pisau yang bermanfaat atau malah menikam anak
kita sendiri?
Oleh karena itu, penanaman iman kepada anak sejak
dini melalui pembiasaan positif harusnya dimulai dari rumah. Penanaman iman
sejak dini adalah bagian dari upaya untuk membentuk sistem imun anak agar
mereka siap menghadapi zamannya. Anak adalah bintang-bintang di masa depan yang
harus kita siapkan sejak dini agar kelak mereka bisa menjadi pemimpin dunia
yang akan membawa negeri ini menjadi lebih baik. Hingga kelak mereka tak hanya
membuat kita tersenyum bahagia dihadapan manusia, tetapi juga dihadapan Allah
karena mereka menjadi anak-anak sholeh yang mengantarkan ayah dan ibunya ke
jannahNya.
Wallahu a’lam bi shawab
Bonita Mahmud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar