Jumat, 25 Agustus 2017

TANTANGAN PENGASUHAN DI ERA DIGITAL #LOMBA BLOG

Orang-orang tak bisa lagi menutup mata dari perkembangan zaman yang ada. Salah satu diantaranya adalah perkembangan era digital dalam kehidupan manusia. Jika dulu kita harus ke pasar untuk membeli sesuatu, maka sekarang sudah tak perlu lagi. Cukup ambil handphone (HP), klik satu aplikasi, maka tunggulah beberapa menit pesanan Anda akan datang. Tak hanya itu, jika selama ini kita harus membeli koran untuk mengetahui berita tentang negeri ini, sekarang Anda cukup membuka satu aplikasi berita di HP maka semua berita akan muncul. Jika dulu kita harus mengirim surat untuk memberikan kabar ke sanak saudara di luar kota bahkan sampai harus menunggu berhari-hari, maka sekarang kita bisa berkomunikasi via telepon kapan saja. Bahkan sudah sampai pada komunikasi via videocall.

Begitu banyak kemudahan yang diberikan oleh era digital saat ini. Namun, era digital yang kita hadapi saat ini ternyata juga ikut mempengaruhi kondisi beberapa keluarga di Indonesia. Keluarga yang sedang makan bersama di restoran bukannya saling ngobrol, malah kebanyakan sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Sesekali berfoto bersama untuk kepentingan media sosial kemudian kembali asyik dengan HP di tangan masing-masing. 

Tak hanya sampai disitu, terkadang kondisi di rumah tak jauh berbeda. Anak yang datang merengek-rengek meminta untuk ditemani bermain, malah diberikan gadget kemudian dibiarkan main game online. Alasannya sederhana, mereka memberikan gadget kepada anak karena tidak ingin diganggu. Kelelahan sehabis bekerja seharian membuat mereka butuh istirahat yang cukup dan ajakan anak untuk bermain hanya akan menambah kelelahannya. Di kondisi lain ditemukan ibu yang asyik berteleponan dengan teman-temannya sehingga anak pun hanya sibuk menonton, tak ada aturan tontonan yang boleh dan tidak boleh ditontonnya.

Pemberian gadget kepada anak seakan-akan dijadikan sebagai pengganti dari kehadiran orang tua. Setiap kali anak menangis, maka yang datang dihadapannya bukan orang tuanya tetapi game online atau tontonan kartun yang tersedia di HP. Ketika anak sedang bersedih karena kehilangan barang kesayangannya, maka yang dihadirkan untuknya adalah berbagai aplikasi yang bisa mengalihkan perhatiannya. Boleh jadi saat itu anak mungkin diam dan memainkan aplikasi di HP yang diberikan kepadanya, tetapi tanpa Anda sadari ada yang tidak didapatkan oleh anak. Anak tak mendapatkan kasih sayang ketika dia sedang membutuhkannya. Jadi jangan heran ketika suatu waktu anak melakukan sesuatu diluar kebiasaannya. Jangan heran jika ada laporan dari guru bahwa anak Anda berperilaku yang mengganggu jalannya proses pembelajaran. Boleh jadi semua itu adalah bagian dari caranya untuk mencari perhatian orang tuanya.

Ketika anak sedang mencari perhatian dan mereka tidak mendapatkannya dari orang tuanya, maka bisa jadi orang lainlah yang memberikannya. Suatu kesyukuran jika anak mendapatkan lingkungan yang baik di luar rumah. Sebagai contoh, anak mendapatkan teman-teman yang aktif ikut kajian-kajian yang bermanfaat atau terlibat dalam pengajian di sekolah. Hal ini akan memberikan dampak positif kepada anak karena lingkungannya bisa membantu dalam mengarahkan pembentukan karakternya. Lain lagi ceritanya jika anak malah mendapatkan lingkungan yang buruk, misalnya mereka bergaul dengan teman-temannya yang suka menghabiskan waktu di warnet. Kita tak pernah tahu apa yang mereka tonton dengan teman-temannya. Hal ini juga akan ikut mempengaruhi prestasi belajar anak di sekolah.

Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua di Indonesia sudah melupakan perannya sebagai ayah dan ibu di rumah. Ayah kebanyakan beranggapan bahwa tanggung jawab pengasuhan sepenuhnya ada di tangan ibu dan dia hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal kebutuhan anak tak sekadar materi, tetapi mereka juga butuh kasih sayang dan perhatian. Tak berbeda jauh dengan ayah, sebagian besar ibu pun melupakan tanggung jawabnya. Ibu juga tak mau kalah untuk mengejar karir di luar hingga melupakan tanggung jawabnya sebagai ibu bagi anaknya. 

Perubahan peran yang terjadi di sebagian besar keluarga di Indonesia ini kembali mengingatkan kita bahwa keluarga adalah organisasi terkecil dalam masyarakat. Pendidikan karakter kepada anak seharusnya dimulai dari keluarga. Hal ini disebabkan karena rumah ibarat sekolah. Di sekolah pertamanya inilah seharusnya anak mendapatkan pendidikan dan pengasuhan terbaik sehingga mereka siap menghadapi semua tantangan di luar rumahnya. Ibaratnya di sekolah pertama ini anak mendapatkan sistem imun yang baik agar ketika keluar dari rumah mereka tidak mudah diserang oleh virus-virus yang berniat jahat kepadanya. Sejahat apapun virus di luar rumah, maka anak tidak akan mudah terpengaruh karena sistem imun dari rumah yang sudah kuat berupa nilai-nilai positif yang membentuk karakternya.

Sekolah pertama ini juga seharusnya menjadi tempat yang paling menyenangkan bagi anak. Setiap kali anak menghadapi masalah di luar rumahnya, maka mereka ingin segera pulang ke rumah. Hal ini disebabkan karena disanalah mereka menemukan rasa aman dan nyaman. Justru mengherankan ketika ada anak yang lebih nyaman di sekolahnya daripada di rumahnya. Hal ini berarti bahwa ada sesuatu yang tidak membuat mereka betah di rumah. Boleh jadi karena kehadiran orang tua tidak lagi berarti buat mereka. Gadget yang diberikan oleh orang tuanya sudah menjadi pengganti yang menemani mereka melewati hari-harinya.  

Sebuah sekolah pasti punya kepala sekolah, guru, dan kurikulum. Kepala sekolahnya adalah ayah yang bertanggung jawab sepenuhnya agar sekolahnya bisa berjalan baik dan aman. Ibu adalah guru atau madrasah utama bagi anak. Kepala sekolah dan guru harusnya memiliki kesepakatan yang berkaitan dengan kurikulum yang akan diterapkan dalam keluarga mereka berupa pola asuh yang akan diterapkan bersama, termasuk di dalamnya aturan dalam penggunaan gadget.

Mengapa harus ada aturan dalam penggunaan gadget? Karena gadget ibarat mata pisau, dia bisa bermanfaat tetapi juga bisa menikam penggunanya kapan saja. Ketika anak diajari dan diberikan aturan dalam penggunaan gadget, maka benda tersebut bisa bermanfaat untuk dirinya. Sebagai contoh, anak diberikan aturan tentang konten yang boleh dan tidak boleh mereka akses serta lamanya waktu yang digunakan untuk menggunakan gadget tersebut. Jika aturan tersebut jelas dan pengawasan dari orang tua tetap ada, maka gadget tersebut akan bermanfaat untuk anak. Namun sebaliknya, jika anak tak diberikan aturan dan batasan dalam penggunaannya, maka gadget ini bisa menikam otak anak-anak kita. Ditambah lagi tak adanya pengawasan dari orang tua, maka tanpa disadari kita sendirilah yang telah merusak mereka.

Di era digital ini kita tak bisa memungkiri bahwa gadget menjadi salah satu tantangan dalam pengasuhan, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita sudah siap menjadi orang tua? Ketika kita sudah siap untuk menjadi orang tua, maka pilihannya ada di tangan kita apakah mau menjadikan gadget sebagai mata pisau yang bermanfaat atau malah menikam anak kita sendiri? 

Oleh karena itu, penanaman iman kepada anak sejak dini melalui pembiasaan positif harusnya dimulai dari rumah. Penanaman iman sejak dini adalah bagian dari upaya untuk membentuk sistem imun anak agar mereka siap menghadapi zamannya. Anak adalah bintang-bintang di masa depan yang harus kita siapkan sejak dini agar kelak mereka bisa menjadi pemimpin dunia yang akan membawa negeri ini menjadi lebih baik. Hingga kelak mereka tak hanya membuat kita tersenyum bahagia dihadapan manusia, tetapi juga dihadapan Allah karena mereka menjadi anak-anak sholeh yang mengantarkan ayah dan ibunya ke jannahNya. 

Wallahu a’lam bi shawab

Bonita Mahmud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NUTRISI UNTUK PASIEN COVID-19

    Pasca postingan tulisan pengalaman saya menghadapi Covid-19 di instagram  (@cerita_bonita), banyak teman yang DM dan japri bertanya ...