Kamis, 27 November 2014

Kemana Aku Menghilang?

Hari ini aku bertemu dengan salah satu temanku waktu kuliah di psikologi. Saling menanyakan kabar dan melepas rindu. Ada hal yang menarik ketika dia berkata, "Kamu kemana saja Boni? Kenapa menghilang dari peredaran. Saya cari-cariki di FB tidak pernah meki juga saya lihat muncul-muncul."

Aku tersenyum mendengar penuturan temanku. Ahhh kawan, kamu bukan orang pertama yang menyampaikan hal tersebut. Aku bukan menghilang, hanya mencoba membuat ruang privasi untuk diriku.

Semuanya berawal ketika aku memasuki masa-masa tesis. Waktu untuk OL sepertinya lebih banyak dibanding membaca referensi yang kubutuhkan untuk tesisku. Selain itu, OL membuatku terpancing untuk mengeluh di sosmed. Membaca postingan teman-teman yang sebagian besar berisi keluhan, terus terang sangat mempengaruhi kondisi psikisku. Apalagi saat itu aku lagi berjuang menyelesaikan kuliah tepat waktu. Yaaahhh, nasib anak beasiswa. Aku gak mau merepotkan mama dan kakak bayarin uang kuliahku. Aku harus bisa menyelesaikan semuanya tepat waktu.

Finally, aku perlahan-lahan mengurangi intensitasku bermain sosmed dengan menon-aktifkan akun facebook-ku. Tak terasa sudah sudah hampir dua tahun aku gak pernah lagi bermain FB. Setelah FB, aku mulai belajar meninggalkan twitter dan mengurangi intensitasku bermain media sosial yang lain, seperti line dan path.

Di antara semua sosmed yang ada, aku paling ngga bisa ninggalin blog. Secara ini salah satu caraku untuk menjaga kebiasaan menulisku. Meskipun aku menyadari kalau isi tulisanku gak sebagus teman-teman yang lain. Tetapi aku hanya ingin terus belajar mengasah kemampuan menulisku. Semoga suatu saat bisa menulis sebuah novel, Aamiin ya Rabbal 'alamin.

So...
Aku sebenarnya gak menghilang teman-teman. Aku masih di bumi Indonesia atau lebih tepatnya di Makassar, hehehehe. Menikmati aktivitas di dunia nyata... ^_^

#Makassar, 27 November 2014
Tulisan ini hanya ingin menjawab pertanyaan teman-temanku, "Kemana aku menghilang?"

Q

Minggu, 23 November 2014

Hujan...

Aku duduk sendiri...
Menatap langit yang masih saja menangis...
Udara dingin pun semakin menusuk hingga ke tulang-tulangku...

Meratapi hujan yang tiada henti hanya akan membuang-buang waktuku...
Bukankah hujan itu adalah berkah?
Hingga kubiarkan kedua tanganku memainkan air hujan yang turun di hadapanku...

Kalau kemarin hanya ada hujan gerimis...
Aku masih punya sedikit keberanian untuk melewatinya...
Aku percaya di depan sana mungkin sudah tak hujan...
Atau malah hujannya justru semakin deras...
Aku tak akan pernah tahu apa yang sedang terjadi di depan sana jika aku tak melewati hujan gerimis kemarin...

Hari ini bukan hujan gerimis...
Hujannya lebih deras, bahkan sangat deras...
Aku masih saja duduk menikmatinya...
Karena aku lebih menyukai hujan deras ini...
Kehadirannya tak perlu membuatku ragu,
Apakah aku harus duduk diam menunggu dia berhenti?
Atau memilih tetap berjalan melanjutkan perjalanan?

Dan akhirnya aku mencoba untuk melewati hujan deras ini...
Keberanianku pun harus lebih besar dari kemarin...
Meskipun rasanya lebih sakit saat tumpahan air dari langit ini mengenai tubuhku...
Tetapi aku harus tetap berjalan...
Berjalan penuh harapan...
Aku tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi jika aku tak melewatinya...
Dan harapanku masih tetap sama dengan hari kemarin...
Semoga di depan sana...
Aku bisa melihat pelangi...

#Makassar, 23 November 2014
Ruang perenungan

Sabtu, 22 November 2014

Karena Hidup Adalah Pilihan...

Hidup adalah pilihan. Entah sudah berapa kali saya mendengar kalimat itu dari orang-orang terdekatku. Orang-orang yang begitu peduli dengan kehidupanku. Kehidupan yang sekarang atau pun nanti.

Terkadang kita dihadapkan pada beberapa pilihan yang membuat kita bingung sendiri. Memilih A, tentunya banyak konsekuensi yang akan kita hadapi. Pun begitu ketika memilih pilihan B. Konsekuensinya pun tetap ada. Apapun pilihan hidup yang kita pilih, pastinya akan ada konsekuensi yang harus kita hadapi.

Begitulah pilihan hidup yang kujalani saat ini. Tentunya saya sudah memikirkan banyak hal sebelumnya, hingga aku memilih beberapa pilihan hidup yang pernah ada dihadapanku.

Salah satu sahabatku pernah memintaku melakukan sesuatu hal yang diluar dugaanku. Dia memintaku untuk mengecilkan jilbab yang kupakai. Dia mengutarakan beberapa alasannya hingga dia berani menyampaikan hal tersebut.

Aku hanya bisa terdiam dan menanggapinya dengan senyuman saat dia menyampaikan semua itu. Kamu bukan orang pertama yang mengatakan hal itu kawan. Sudah ada beberapa orang yang memintaku untuk melakukan hal tersebut. Dan aku hanya bisa menarik nafas panjang mendengarkan komentar-komentar mereka.

Sahabatku...
Andai engkau tahu perjuanganku hingga aku bisa seperti ini. Aku tak ingin menceritakannya lewat tulisan ini. Bukan hal yang mudah ketika akhirnya aku memutuskan untuk berjilbab seperti yang diwajibkan oleh Allah dalam Al Qur'an. Menghadapi orang-orang yang menentang keputusanku dan memintaku berpikir kembali. Mereka takut jika aku masuk aliran sesat yang saat itu sering dibahas di TV-TV. Saat itu hanya berteman dengan sujud-sujud panjang dalam shalat. Memohon kekuatan dan meminta agar Allah menetapkan hati ini di jalan-Nya.

Sahabatku...
Aku berjilbab semata-mata untuk menjalankan perintah Allah. Pun begitu dengan pilihan hidupku yang lain, semuanya karena Allah. Termasuk ketika aku memilih untuk tidak pacaran. Semuanya semata-mata karena Allah. Ada yang pernah bertanya, "Bagaimana caranya kamu akan memilih calonmu kelak kalau kamu tidak pacaran? Sekarang itu harus pacaran dulu kalau mau menikah!"

Lagi-lagi ini masalah pilihan. Aku berusaha memilih jalan yang disukai oleh Tuhanku. Aku memilih jalan yang diridhoi-Nya. Jika kelak waktunya tiba, biarlah Allah yang mengatur proses pertemuannya seperti apa. Aku banyak belajar dari orang-orang terdekatku tentang bagaimana mereka melewati proses ta'arufnya. Masya Allah, Dari merekalah aku belajar akan kekuasaan Allah.

Ada beberapa sahabat terdekatku yang menganggap diriku terlalu berlebihan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa aku ini terlalu ekstrim. Ada juga yang menyesalkan pilihan hidupku yang satu ini.

Buat orang-orang terdekatku, terima kasih untuk semua perhatiannya. Perhatian kalian adalah bentuk kasih sayang kalian kepadaku.
Tetapi maaf...
Aku tak bisa melakukan seperti permintaan kalian...
Bukan hal yang mudah bagiku untuk bertahan dalam prinsip yang bagi sebagian besar orang terlalu ekstrim. Tetapi itulah yang diajarkan oleh Bapakku sejak aku kecil. Bapaklah yang mengajariku bagaimana perempuan harus menjaga diri dari lawan jenis. Hingga akhirnya aku belajar memahami bahwa dalam sebuah pernikahan, bukan hanya persoalan menikah atau tidak. Tetapi bagaimana kita melewati proses menuju pernikahan, apakah dengan cara yang diridhoi oleh Allah atau tidak?

Keridhoan Allah...
Itulah yang kucari di muka bumi ini. Bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan keridhoannya sementara aku melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh Allah dan salah satu contohnya adalah pacaran?

Ya...
Bagi sebagian besar orang, prinsip ini dianggap terlalu keras. Bagiku bukan keras, tetapi tegas terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Bagaimana mungkin aku melanggar sesuatu yang jelas-jelas sudah diatur semua dalam Islam? Bukankah ada proses ta'aruf yang bisa engkau lewati untuk bisa mengenal calonmu. Betapa banyak sahabatku yang menanti dalam ketidakpastian dan menyiksa diri mereka sendiri. Dan lagi-lagi perempuan yang selalu menjadi korban. Mungkin nanti aku akan berbagi tentang hal ini di tulisanku yang lain.

Melalui tulisan sederhana ini, aku ingin berterima kasih kepada orang-orang yang peduli denganku. Teruslah memberiku nasehat dan teguran dikala khilaf. Dan kumohon berhentilah memintaku melakukan hal-hal yang bisa melanggar prinsip yang kupegang selama ini. Aku tak pernah menyesal memilih jalan yang kupilih saat ini. Bukankah aku memilihnya karena Allah? Dan satu hal yang kuyakini bahwa janji Allah itu pasti.

Wallahu a'lam bi shawab...

#Makassar, 22 November 2014
Ruang Perenungan
"Jodoh itu bukan seberapa lama engkau mengenalnya, tetapi seberapa yakin engkau kepadaNya."

Jumat, 21 November 2014

Surat untuk Bapak... (Bagian Kedua)

Bapak...
Bagaimana kabarmu disana?
Baik-baik saja kan?
Yaaa, aku berharap Allah memberimu tempat terbaik disana...
Aamiin ya Rabbal 'alamin...

Bapak...
Banyak yang ingin kuceritakan padamu. Bahkan aku bingung harus memulai dari mana. Tapi biarkan jari-jari ini menuliskan apa yang kualami dan kurasakan saat ini.

Bapak...
Sudah dua bulan aku kembali dari perantauan. Sesuatu yang dulu tak pernah engkau izinkan telah kuselesaikan. Aku semakin mengerti mengapa engkau tak pernah mengizinkanku sekolah di luar. Aku semakin mengerti mengapa engkau sangat menjagaku bahkan rela meninggalkan Sinjai hanya untuk menemaniku. Kelak jika aku punya anak perempuan, mungkin aku pun akan melakukan hal yang sama denganmu.

Bapak...
Dua bulan sudah aku menjalani aktivitasku yang baru sebagai dosen di kampus tempatku kuliah kemarin. Bukan hal yang mudah untuk bisa masuk disana. Bahkan aku sempat ingin menyerah dan berniat mengajar di kampus lain. Tetapi semangat yang selalu diberikan Mama dan kakak-kakak membuatku bertahan untuk memperjuangkannya.

Bapak...
Tahukah engkau sekarang Mama begitu bahagia melihatku sudah bisa mewujudkan semua yang pernah engkau pinta dariku. Aku bisa merasakannya dari sorotan matanya dan belaian lembut tangannya di setiap kali aku pamit ke kampus. Ya, aku pun bahagia bisa kembali bersama Mama setelah dua tahun jadi anak kost. Engkau pasti tahu kan dulu anakmu ini ngotot ngekost dekat kampus. Tapi tak ada satu pun mengizinkan hingga engkau rela menemaniku di Makassar. Meskipun hanya dua tahun tetapi semua begitu berharga untukku.

Bapak...
Engkau pasti tahu kalau dulunya aku tak pernah mau kembali ke Sinjai. Aku merasa tak bisa mengembangkan kemampuanku disana. Sekarang semuanya berubah. Dua tahun merantau membuatku sadar kalau aku harus kembali ke kota kecil tempatku dilahirkan. Kalau semua berpikir tak mau bertahan disana, lalu siapa yang akan mengembangkan daerah kita?

Bapak...
Kelak aku ingin pulang ke kampung halaman kita. Aku ingin meminta izinmu membangun sebuah sekolah kecil di samping rumah kita. Aku ingin menghabiskan waktuku disana mendidik anak-anak untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya seperti yang pernah engkau ajarkan kepadaku. Aku berharap semoga mimpiku ini bisa terwujud. Bukankah ini akan menjadi amal jariyah kita? Semoga saja, Aamiin Ya Rabbal 'alamin.

Bapak...
Mama pun sudah mengizinkanku untuk mewujudkan mimpiku itu. Meskipun awalnya Mama kurang menyetujui. Mama lebih menyukai aktivitasku sebagai dosen agar aku bisa punya banyak waktu dengan keluarga. Tetapi bukankah sekolah itu kelak ada di rumah kita juga. Jadi waktuku pun semuanya untuk Mama dan keluarga.

Bapak...
Akhir-akhir ini aku selalu merindukanmu. Kemarin aku ke Bone mengunjungi cucumu Ubay. Oh iya, engkau sudah tak ada ketika dia lahir. Sekarang dia sudah berusia 3 tahun. Dia mirip sekali sama K'Iping, apalagi matanya. Aku yakin engkau akan tertawa melihat tingkah lakunya yang lucu. Dia memanggilku Ita karena belum lancar bicara. Ada kejadian yang membuatku teringat padamu. Saat aku menemani K'Erna ke tempat kerjanya, aku melihat seorang Bapak yang menemani anaknya ke dokter. Anak perempuan itu duduk di samping ayahnya dan memegang tangannya. Aku kembali teringat padamu. Dirimu yang selalu menemaniku ke dokter, bahkan menjemputku di sekolah hanya untuk menemaniku cabut gigi. Menenangkanku saat jarum suntik itu sudah di depan mataku.

Bapak...
Ada yang bertanya padaku,"apalagi yang kucari di dunia ini?"
Aku tersenyum dan terdiam mendengarkan pertanyaan itu. Lewat pertanyaan itu, sepertinya Allah kembali bertanya padaku, "apa yang kucari di dunia ini?"

Bapak...
Seperti yang selalu engkau ajarkan padaku bahwa hidup adalah mencari ridho Allah. Ya, tak ada lagi yang kucari selain mencari keridhoan Allah. Dan di sisa-sisa umurku ini aku ingin membahagiakan Mama. Aku ingin selalu ada untuknya, membuatnya tersenyum, dan membahagiakannya di masa tuanya. Kadang aku menangis jika mengingat kalau aku belum sempat membahagiakanmu. Tetapi aku kembali menyadari bahwa membahagiakanmu, membalas setiap kebaikanmu, tidak selalu harus dengan materi. Menjadi anak yang sholehah, mendoakanmu, dan menjadi manusia yang bermanfaat adalah bagian dari caraku untuk membalas setiap kebaikanmu. Semoga dengan semua ini aku bisa membuatmu bangga dihadapan Allah kelak di akhirat nanti. Aamiin Ya Rabbal 'alamin.

Bapak...
Sampai disini dulu ceritaku hari ini. Aku harus kembali melanjutkan aktivitasku. Berharap engkau bisa melihatnya disana. Dan juga bisa merasakan betapa aku mencintaimu dan merindukanmu.

Boni sayang Mama dan Bapak karena Allah...
Selalu...
Dan selamanya... ^_^

#Makassar, 21 November 2014
Ruang Kerinduan

Rabu, 19 November 2014

Duhai Pagi

Duhai pagi...
Aku selalu menyukai kehadiranmu...
Karena aku yakin akan ada harapan baru di sana...

Duhai pagi...
Aku tak pernah tahu apa yang akan kuhadapi hari ini...
Aku tak pernah tahu dengan siapa aku akan bertemu hari ini...
Tetapi semua pilihan yang akan kujalani sudah engkau suguhkan dihadapanku...

Duhai pagi...
Saat engkau datang membawa semua pilihan itu...
Dan aku memilih menikmati pagimu...
Bersama dengan sebuah senyuman penuh harapan...
Bukankah itu juga pilihan hidup?

Duhai pagi...
Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi saat aku memilih bertahan...
Memilih untuk melewati hari-hariku dengan segudang harapan dan mimpiku...
Berharap semuanya sesuai dengan apa yang ada di langit sana...
Semoga...

#Makassar, 19 November 2014
Rumah perenungan

NUTRISI UNTUK PASIEN COVID-19

    Pasca postingan tulisan pengalaman saya menghadapi Covid-19 di instagram  (@cerita_bonita), banyak teman yang DM dan japri bertanya ...