Senin, 31 Maret 2014

Sekarang Kita, Kelak Mereka...



Baru-baru ini saya mendapat amanah dari sahabat-sahabat saya di Makassar untuk membantu mereka di bagian Tempat Penitipan Anak (TPA). Mereka membuat TPA karena adanya aturan bahwa anak-anak dilarang ikut dalam kegiatan tersebut. Itulah sebabnya panitia acara membuat area TPA di acara tersebut yang diadakan pada hari Senin, 24 Maret 2014 di Lapangan Hertasning, Makassar.
Area TPA ini ditempatkan di salah satu masjid dekat lapangan tempat acara tersebut berlangsung. Saya dan beberapa teman relawan anak menyetting teras masjid tersebut menjadi TPA. Teman-teman yang terlibat menjadi panitia TPA adalah orang-orang yang aktif dalam kegiatan anak-anak pada setiap event yang diadakan oleh panitia. Panitia sempat kewalahan karena jumlah panitia TPA tidak sebanding dengan anak-anak yang ikut dalam acara tersebut. Namun, kami sangat terbantu dengan banyaknya teman-teman akhwat dan beberapa ummahat yang bersedia membantu kami. Inilah salah satu hal yang membuat ikatan ukhuwah diantara kami semakin kuat, “selalu berlomba-lomba dalam kebaikan” termasuk dalam hal meringankan tugas saudaranya yang lain.
 Panitia TPA ini terbagi dua, yaitu teman-teman yang bertugas menangani anak yang berusia 0 – 2 tahun dan anak yang berusia 3 tahun ke atas. Beberapa kegiatan disediakan oleh panitia TPA untuk membuat anak-anak betah selama berpisah sejenak dengan orang tua mereka. Adapun kegiatan yang disediakan oleh panitia TPA, diantaranya mewarnai, membuat kolase, permainan puzzle, dan permainan bola keranjang. Anak-anak sangat antusias mengikuti kegiatan tersebut apalagi ketika panitia memberikan bintang juara bagi anak-anak yang berhasil menyelesaikan satu pekerjaan. Panitia juga menyediakan tontonan berupa film kartun islami untuk anak-anak.
 Banyak pelajaran moral yang kudapatkan saat menjalankan amanah tersebut. Salah satunya adalah dari para orang tua yang membawa anaknya mengikuti kegiatan tersebut. Saat saya bertanya mengapa mereka membawa anak-anaknya ke acara tersebut? Tidakkah mereka khawatir dengan keselamatan anak-anak mereka? Jawabannya sederhana, “karena mereka yakin kegiatannya akan berjalan aman.” Selain itu, adanya informasi yang mereka dapatkan bahwa panitia menyediakan TPA membuat mereka semakin yakin untuk membawa anaknya karena tak ada yang menjaga di rumah. Tetapi ada juga orang tua yang menaati aturan dengan tidak membawa anaknya. Selain taat pada aturan, katanya mereka juga membantu meringankan kerja panitia TPA.
Pelajaran lain yang kudapatkan adalah para ummahat yang mempercayakan anaknya kepada kami. Padahal kami baru saling mengenal saat acara tersebut. Kami tak ada ikatan kekeluargaan, tetapi mereka mempercayakan keselamatan anak-anaknya kepada kami. “Tolong jaga anak saya ya ammah,” tutur seorang Ibu saat menyerahkan anaknya kepada salah satu teman panitia. Alasan mereka pun sangat sederhana, “ikatan ukhuwah”. Ikatan ukhuwah diantara kami sudah terjalin jauh sejak sebelum kami bertemu. Kami dipertemukan di jalan dakwah ini sehingga anak-anak mereka juga menjadi anak-anak kami. Meskipun mereka tidak terlahir dari rahim kami. 
Saat memandang anak-anak yang tengah asyik mengikuti setiap kegiatan yang disediakan oleh panitia, ada bahagia yang terselip di hatiku. Ketika memandangi wajah-wajah polos mereka, saya seperti melihat bibit-bibit pemimpin masa depan. Jika satu keluarga memiliki minimal tiga anak dan anak-anak tersebut dididik dalam keluarga dakwah. Mereka dididik untuk menjadi calon-calon pemimpin masa depan. Mereka diajarkan untuk mengenal dan mencintai Allah swt dan meneladani Rasulullah saw, maka bisakah Anda  bayangkan seperti apa Indonesia nantinya? Tidakkah hal ini menjadi sebuah semangat buat kita bahwa harapan itu masih ada. Ya, sekarang kita dan suatu saat merekalah yang kelak akan memimpin negara ini. Merekalah yang kelak akan menciptakan sepenggal firdaus di bumi Indonesia. Semoga kita tetap istiqomah menjadi bagian dari orang-orang yang mengantarkan mereka menjadi pejuang-pejuang yang menegakkan agama Allah di bumi cinta-Nya. 

Melalui tulisan ini juga, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua teman-teman relawan anak yang telah bersedia menjadi panitia TPA pada acara tersebut. Tak lupa terima kasih yang sebesar-besarnya juga kepada teman-teman akhwat dan para ummahat yang dengan ikhlas membantu meringankan kerja-kerja panitia. Hanya Allah yang bisa membalas setiap kebaikan yang teman-teman berikan dalam perjuangan ini.

Generasi Gelombang Ketiga... #Gen_AMPM



Alhamdulillah, Allah memberi saya kesempatan untuk mengikuti acara bedah buku Generasi Gelombang Ketiga karya Ustadz Anis Matta. Ada beberapa hal yang menarik saat Beliau memaparkan tentang karyanya. Hanya sedikit yang bisa saya catat karena banyaknya peserta yang hadir di acara tersebut sehingga butuh waktu yang cukup lama untuk mendapatkan tempat yang nyaman. Jujur saja, saya menyukai pemikiran-pemikiran beliau tentang “Indonesia”. Itulah sebabnya saya selalu menyebutnya “Pemimpin Out of The Box”. So izinkan saya berbagi sedikit ya sob... Semoga bermanfaat ^_^

Indonesia itu identik dengan batik. Batik menggambarkan bagaimana kerumitan diharmonisasi. Jadi, ciri orang Indonesia itu adalah dia bisa membuat segala hal yang berantakan menjadi satu. Orang-orang Indonesia mampu membuat yang detail-detail menjadi sesuatu yang harmonis. Contoh lainnya adalah salah satu makanan khas Indonesia, gado-gado. Anda pernah melihat proses pembuatan gado-gado? Berbagai jenis sayuran dicampur jadi satu dan akhirnya menjadi satu makanan yang peminatnya sangat banyak, yaitu gado-gado.  

Seperti itu pula kondisi Indonesia saat ini. Indonesia memiliki sekitar 300 etnis namun tetap menjad satu. Bahkan memilih bahasa pun bukan menjadi perkara yang mudah. Mengapa bukan bahasa jawa saja yang menjadi bahasa nasional? Padahal pemakai Bahasa Jawa lebih banyak dibanding bahasa yang lain. Pada akhirnya kita memilih bahasa melayu sebaga bahasa nasional. Hal ini disebabkan karena bahasa melayu memiliki struktur yang sederhana.

Mengapa demikian? Contohnya saja, dalam bahasa melayu tidak ada konsep waktu. Bahasa Inggris saja memiliki 16 tenses dan bahasa arab hanya memiliki dua kata kerja (masa lampau dan masa kini). Bahasa melayu tidak memiliki kata kerja (kata kerja dan keterangan waktunya  terpisah).
Misalnya, sudah makan, sedang makan, dan akan makan. Ketiga contoh tadi menunjukkan bahwa kata kerja terpisah dari keterangan waktu yang mengikutinya. Itulah sebabnya, karena kata kerjanya terpisah dari keterangan waktu maka Indonesia sangat toleran dalam hal waktu. Ngga percaya? Coba teman-teman ingat, pernah membuat janji dengan orang Indonesia?
“Kapan kita ketemuan?”
“Besok-besoklah” atau “Nantilah”.
Tetapi jika teman-teman pernah membuat janji dengan orang Eropa, “Kapan kita ketemuan?”
“Pukul 05.15”,  jadi satuan waktu yang mereka gunakan lebih detail.
Tetapi toleransi ini pulalah yang menjadi kekuatannya. Karena bahasanya yang sederhana sehingga mudah dipelajari dan hal inilah yang menjadi faktor penyatu kita hingga sekarang ini.

Selain membahas tentang keunikan Indonesia, Beliau juga membahas tentang satu generasi yang mendominasi bangsa Indonesia saat ini. Inilah yang disebut oleh Beliau sebagai Generasi Gelombang Ketiga.
Di era gelombang ketiga ini telah terjadi sebuah perubahan yang drastis. Hal ini disebabkan karena komposisi demografi indonesia berubah. Indonesia telah didominasi oleh kalangan anak muda yang berusia 45 tahun ke bawah. Teman-teman mau tahu ciri-ciri generasi gelombang ketiga. Menurut Beliau, generasi gelombang ketiga memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Generas ini didominasi oleh orang muda
  2. Pendidikannya bagus
  3. Pendapatannya bagus,misalnya mereka sudah bisa membeli buku, punya waktu hadiri majelis ilmu, dan lain-lain.
  4. Terkoneksi dengan baik atau well-connected.
  5. Native demokrasi. Dia hanya tahu satu sistem yaitu demokrasi, khususnya anak-anak Indonesia yang lahir tahun 90-an.
Buat kamu-kamu yang lahir tahun 90-an coba perhatikan perjalanan hidupnya. Begitu dia lahir, tembok berlin sudah tidak ada, Uni Soviet sudah runtuh, perang dingin telah berakhir. Tujuh tahun kemudian ketika masih SD terjadi krisis ekonomi. Ketika duduk di bangku kelas 2 SD terjadi reformasi  dan orde baru berakhir. Enam tahun kemudian (sekitar tahun 2003-2004) mereka mulai melihat orang-orang yang bertengkar karena memperebutkan jabatan publik. Setiap hari mereka melihat ada kegaduhan, keributan. Setiap hari mereka melihat orang-orang yang membicarakan kegiatan pilkada atau pun pilpres. Tetapi semua itu terlihat menarik bagi mereka dan mereka penasaran dengan semua yang dilihatnya. Ternyata untuk menjadi seorang pemimpin ada kompetisinya. Tidak ada kepemimpinan yang didapatkan karena faktor keturunan. Itulah sebabnya generasi gelombang ketiga ini tumbuh dengan semangat kompetisi yang luar biasa dan inilah yang disebut dengan native demokrasi.

Lalu peta jalan apa yang harus dilalui pada generasi gelombang ketiga ini?
Kita mesti mengubah Indonesia dari entitas politik menjadi entitas peradaban. Kali ini kita belajar dari bangsa Inggris dan bangsa Arab. Orang Inggris jumlahnya cuma berapa? Populasi penduduk negara Inggris lebih sedikit dibanding Indonesia. Tetapi mengapa bangsa Inggris bisa menyebarkan bahasanya sehingga semua orang di dunia mau mempelajari bahasa Inggris? Artinya secara budaya, Inggris jauh lebih besar dibanding ukurannya, yaitu ukuran wilayah, demografi, dan populasinya.

Pun begitu dengan bahasa Arab. Jumlah penduduk di daerah arab juga lebih sedikit dibanding Indonesia. Tetapi sekarang orang-orang banyak yang mempelajari bahasa arab. Artinya, budaya dan peradaban bangsa arab ini jauh lebih besar dibanding ukuran wilayah dan populasinya. Nah, mengapa kita orang Indonesia tidak berpikir, kelak bahasa Indonesia dipelajari oleh seluruh dunia.

Bangsa Inggris dan Arab telah bekerja dalam skala peradaban, sementara kita masih bekerja dalam skala politik. Lalu apa yang harus kita lakukan? Negara ini harus kita ubah menjadi instrumen peradaban, agar kelak ukuran ekonomi, politik, dan budaya kita lebih besar dari ukuran geografi dan demografi kita.
Jika kita telah mengetahui jalannya, maka kita bisa membayangkan ciri masa depan bangsa indonesia, yaitu bangsa Indonesia  lebih religus, berpengetahuan, dan lebih sejahtera. Agama menjadi orientasi dan sumber moralnya, pengetahuan menjadi sumber kompetensi dan produktivitasnya, serta kesejahteraan menjadi out putnya. Sehingga orang-orang Indonesia kelak lebih sholeh, lebih cerdas, dan lebih kaya. Kelak  inilah yang menjadi model bangsa Indonesia ke depan.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin

#Bedah Buku “Generasi Gelombang Ketiga” oleh Ustadz Anis Matta
Mohon maaf kalau tulisannya kurang runut, soalnya pas mau direkam ternyata semua HP lowbet. So hanya ini yang tersisa di catatanku. Buat kamu-kamu yang penasaran, pengen tahu lebih banyak tentang generasi gelombang ketiga, silahkan dibaca bukunya. Bukunya bagus buat kamu yang pengen nambah wawasan tentang “Ke-Indonesia-an”.

Kamis, 27 Maret 2014

Biarkan Aku Mengenangmu Lewat Wajah Bahagia Mereka

Aku memandang dari jauh semua wajah-wajah yang ada dihadapanku...
Mereka tampak berkumpul membentuk kelompok-kelompok kecil...
Sesekali terdengar tawa bahagia...
Sesekali mereka berpelukan...
Seakan melepas rindu yang telah lama terpendam...

Aku hanya bisa ikut tersenyum melihat semua kejadian yang ada di hadapanku...
Ingatanku kembali ke memori beberapa tahun silam...
Mengingat wajah-wajah yang pernah menemani hari-hariku di setiap hari ahad...
Bagaimana kabar kalian?
Bagaimana kabar iman kalian?
Bagaimana kabar hati-hati kalian?
Apakah kita masih berada di jalan yang sama?
Apakah kita masih punya cita-cita yang sama?

Saat pertama kali kembali ke kota ini...
Aku sadar, kalau aku tak akan menemui wajah kalian lagi di kota ini...
Keinginan untuk mewujudkan cita-cita...
Keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik...
Keinginan untuk menjelajahi sudut lain di bumi Allah...
Dan masih banyak keinginan lain...
Hingga kita harus berpisah seperti ini...

Sahabatku...
Kita bertemu dalam tali persahabatan ilahi...
Kita bertemu di jalan cinta para pejuang...
Kita bertemu karena DIA...
Aku pun berharap...
Perpisahan kita pun karena DIA...

"Ammaaaahhhh, saya mau minum!!!!" kata salah satu anak yang dititipkan oleh ibunya di TPA.
"Oh iya nak," jawabku sambil mengajak anak tadi untuk mengambil air minum.
Lamunanku pun buyar oleh teriakan anak tadi.
Ahhhh, aku masih ingin bernostalgia bersama kalian. Meskipun itu hanya lewat sebuah kenangan indah yang pernah kita ukir bersama. Meskipun hanya dengan memandangi wajah-wajah bahagia yang ada dihadapanku. Semoga Allah selalu menjagamu saudari-saudariku. Dimana pun kalian berada. Semoga Allah memudahkan langkah-langkahmu tuk meraih impian-impianmu. Dan kuharap impian kita masih sama seperti dulu, sekarang, dan nanti. Berjumpa dengan Allah di jannah-Nya kelak.
Aamiin ya Rabbal 'alamin...

Makassar, 24 Maret 2014
@Lapangan Hertasning

Rabu, 26 Maret 2014

Bunda, Mengapa Mereka Memanggilku "Orang Gila"?

Hai kawan...

Kenalkan namaku Ahmad. Aku sekarang duduk di kelas B di salah satu TK di kotaku. Kalau aku kelas B, berarti usiaku sekitar 5 tahun. Begitu kali ya...hehehe...Teman-teman, izinkan aku bercerita tentang kehidupanku ya... Aku ingin berbagi dengan kalian. Boleh ya...

Aku hidup di sebuah keluarga yang katanya lebih dari cukup. Aku punya ayah dan ibu yang katanya sangat sayang padaku. Aku juga punya seorang adik perempuan yang bersekolah di sekolah yang sama denganku. Tapi dia masih di kelompok bermain. Setiap hari kami diantar  oleh ibu. Ibulah yang setiap hari mengurusi setiap keperluanku sebelum ke sekolah. Menyiapkan baju sekolah, bekal ke sekolah, dan mengantarkanku ke sekolah.

Aku juga punya banyak teman-teman di sekolah. Mereka sepertinya sangat baik. Soalnya mereka selalu berbagi makanan denganku. Tetapi aku bingung, kenapa mereka suka memanggilku “orang gila”. Aku bahkan tak mengerti apa arti dari panggilan itu. Setiap hari mereka selalu mengajakku ngobrol, tetapi aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Aku hanya bisa mendengar kalimat yang mereka sampaikan kepadaku. Terkadang aku ingin sekali ngobrol seperti teman-teman yang lain. Tetapi lagi-lagi aku bingung, aku harus ngomong apa. Pernah suatu hari, aku berusaha mendekati mereka. Mengajak mereka bermain bersama, tetapi mengapa mereka tak pernah mengerti apa yang kusampaikan. Mereka malah berkata, “Kamu ngomong apa? Kalau bicara yang jelas, jangan seperti orang gila kalau ngomong.” Lagi-lagi aku mendengar kata-kata itu dan akhirnya aku hanya bisa menangis sekeras-kerasnya. Aku rasanya ingin teriak, “aku hanya ingin bermain dengan kalian!!!”

Bukan hanya teman-temanku yang aneh, guruku pun sepertinya suka bersikap aneh. Selalu memaksaku menyelesaikan gambar-gambar yang  tak pernah kumengerti semua itu gambar apa. Memaksaku menghitung benda-benda yang ada dihadapanku. Ketika aku tak bisa menyelesaikannya, maka aku akan mendengar suara bentakan yang sangat keras. Lagi-lagi aku tak mengerti sebenarnya apa yang diinginkan oleh mereka. Ya, mungkin kehidupanku yang aneh.

Setiap kali pulang sekolah, Ibu akan menjemputku dan adik perempuanku. Ibu kembali mengurusi pakaian sekolahku dan menyiapkan makan siang untukku. Setelah makan, ibu akan memintaku untuk tidur siang. Jika aku ngotot tak mau tidur siang, maka ibu memberikanku laptop atau ipad yang biasa digunakannya. Ibu mengizinkanku untuk memainkannya sepuas hati dengan satu syarat, “jangan ganggu ibu selama dia sedang mengerjakan pekerjaannya”. Oke, aku akan menjadi anak yang penurut memenuhi keinginannya. Aku sebenarnya tak tahu apa pekerjaan ibuku. Setiap hari dia terlihat sibuk mengurusi barang-barang yang datang dan pergi ke rumahku. Kata orang-orang yang biasa datang ke rumahku, katanya ibuku seorang pengusaha dan ayahku seorang pekerja kantoran yang harus pulang hingga larut malam. Karena kesibukan mereka, aku hanya bisa bermain dengan benda kotak yang diberikan oleh ibuku. Aku juga belum bisa bermain dengan adikku. Dia masih sangat kecil dan terkadang aku tak mengerti dengan apa yang disampaikannya.

Oh ya, aku juga punya jadwal tidur yang tidak tentu. Semuanya tergantung pada pekerjaan ibuku. Jika pekerjaan ibuku belum selesai, maka aku pun akan ikut begadang. Aku begadang bukan untuk menemani ibu, tetapi karena tak ada yang menemaniku untuk tidur. Ayahku pun selalu pulang larut malam. Sejak pulang sekolah hingga menjelang tidur aku hanya punya satu sahabat yang selalu menemaniku, ipad yang isinya adalah game-game yang seru. Terkadang aku juga bermain dengan sahabatku yang lain, namanya televisi. Aku bisa menonton film-film kartun yang bahasanya masih terdengar asing di telingaku. Bahasanya sangat berbeda dengan yang sering kudengar dari orang-orang di sekitarku. Mungkin ini yang namanya bahasa asing.

Begitulah kehidupanku teman-teman setiap hari. Seperti itulah yang kujalani setiap hari, di rumah dan di sekolahku. Semoga ceritaku ini membuat teman-teman bisa tersenyum dan belajar mensyukuri setiap nikmat yang diberikan oleh Allah. Sampai sekarang pertanyaanku belum terjawab, “mengapa teman-temanku masih saja selalu memanggilku orang gila? Padahal namaku adalah Ahmad.” Aku berharap teman-teman yang membaca tulisanku tak memanggilku orang gila, sama seperti teman-temanku di sekolah. Tetapi panggil aku Ahmad, sebuah nama yang diberikan oleh orang tuaku yang katanya sangat mencintaiku.

Salam sayang selalu...

Sahabatmu, Ahmad

*Tulisan sederhana, terinspirasi dari kisah salah satu siswaku yang baru kukenal satu bulan terakhir ini. Saya sengaja menggunakan nama samaran untuk menjaga identitasnya. Dia anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah normal. Dia sepertinya sudah kecanduan dengan game-game yang tersedia di gadgetnya. Ketika pertama kali berkenalan dengannya, dia langsung berkata, “fire, fire!!!” Setelah saya mencari tahu, ternyata kata-kata itu dia dapatkan dari salah satu game yang sering dia mainkan. Sekarang dia belum bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang-orang di sekitarnya. Dia juga terbiasa menonton film kartun yang menggunakan bahasa asing.

Tadi pagi ada kejadian yang sangat menarik dan memberiku satu lagi pelajaran moral. Tiba-tiba dia tidak mau menyelesaikan gambar yang diberikan oleh guru. Biasanya jika saya membujuknya dan menemaninya menggambar sambil bermain tepuk dia akan mengikuti dengan baik setiap kalimat yang saya sampaikan. Tetapi hari ini dia tidak mau mengerjakan apapun. Saya mengalami kebingungan saat menghadapinya karena tak mengerti dengan apa yang disampaikannya. Dia belum bisa berbicara, meskipun usianya sudah lebih enam tahun. Akhirnya, aku meminta dia untuk mengambil sendiri apa yang diinginkannya. Dia lalu berjalan ke meja guru dan langsung memainkan laptop yang ada di meja tersebut. Saya lalu menariknya dan memberinya pengertian bahwa sekarang bukan waktunya untuk bermain laptop. Dia lalu menangis histeris dan ingin memberontak. Saya lalu menggendongnya dan membawanya keluar dari kelas. Saya sengaja membawanya keluar agar tidak mengganggu proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Dia masih saja menangis dipelukanku dan masih tidak menerima kejadian tadi. Dia tetap ngotot ingin bermain laptop. Saya pun berusaha untuk mengajaknya berdamai.

“Ahmad sayang sama Bunda?” tanyaku sambil menatap wajah polosnya.

Dia hanya menjawabnya dengan mengangguk.

“Kalau begitu Ahmad diam dong. Kalau Ahmad ngga diam, Bunda pergi saja deh,” kataku sambil menghapus air matanya.

“Jangan pergi!!!” katanya dengan suara terisak-isak.

“Ahmad mau kan Bunda masih disini?” tanyaku kembali.

Dia kembali mengangguk menjawab pertanyaanku.

“Kalau begitu peluk Bunda dulu baru kita makan sama-sama. Oke?”

Dia lagi-lagi hanya mengangguk dan langsung memelukku.

Sahabatku, pernahkah engkau merasakan pelukan seorang anak yang merindukan kehadiran ibu dan ayahnya? Dia mengalungkan tangannya di leherku dan memelukku erat. Saat saya memintanya untuk melepaskannya, dia tidak mau melepaskannya. Dia masih saja memelukku sambil menangis terisak-isak. Saya pun berusaha mengajaknya kembali berdamai, “Kalau Ahmad sayang Bunda, sekarang kita makan sama-sama ya? Nanti setelah makan kita main sama-sama lagi. Gimana?”

Dia pun melepaskan pelukannya dan turun dari pangkuanku. Dia menarik tanganku dan mengajakku cuci tangan. Dia lalu mengambil bekal makanannya dan membagi makanan yang dibawanya untukku. Dia menyodorkannya kepadaku tanpa berkata sepatah kata pun.

“Ini buat Bunda?” tanyaku kepadanya.

Lagi-lagi hanya dijawab dengan anggukan kecilnya.

“Terima kasih Ahmad!” jawabku sambil tersenyum.

Dan lagi-lagi hanya anggukan yang kudapatkan.

Anakku, engkau mungkin berbeda dengan anak yang lain tetapi dihatiku engkau tetap sama dengan yang lain. Engkau mungkin masih anak kecil, tetapi darimu aku belajar banyak hal. Belajar akan arti sebuah kesabaran dan rasa syukur. Betapa banyak pasangan yang merindukan kehadiran sang buah hati dalam kehidupannya, tetapi masih saja ada yang menyia-nyiakan anaknya. Andai mereka tahu bahwa kelak anak-anak mereka akan menjadi investasi di akhirat. Anakku,  Semoga Allah selalu menjaga dan menuntun setiap langkahmu.

Aamiin Ya Rabbal ‘alamin...

Bunda, Mengapa Mereka Memanggilku "Orang Gila"?

Hai kawan...

Kenalkan namaku Ahmad. Aku sekarang duduk di kelas B di salah satu TK di kotaku. Kalau aku kelas B, berarti usiaku sekitar 5 tahun. Begitu kali ya...hehehe...Teman-teman, izinkan aku bercerita tentang kehidupanku ya... Aku ingin berbagi dengan kalian. Boleh ya...

Aku hidup di sebuah keluarga yang katanya lebih dari cukup. Aku punya ayah dan ibu yang katanya sangat sayang padaku. Aku juga punya seorang adik perempuan yang bersekolah di sekolah yang sama denganku. Tapi dia masih di kelompok bermain. Setiap hari kami diantar  oleh ibu. Ibulah yang setiap hari mengurusi setiap keperluanku sebelum ke sekolah. Menyiapkan baju sekolah, bekal ke sekolah, dan mengantarkanku ke sekolah.

Aku juga punya banyak teman-teman di sekolah. Mereka sepertinya sangat baik. Soalnya mereka selalu berbagi makanan denganku. Tetapi aku bingung, kenapa mereka suka memanggilku “orang gila”. Aku bahkan tak mengerti apa arti dari panggilan itu. Setiap hari mereka selalu mengajakku ngobrol, tetapi aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Aku hanya bisa mendengar kalimat yang mereka sampaikan kepadaku. Terkadang aku ingin sekali ngobrol seperti teman-teman yang lain. Tetapi lagi-lagi aku bingung, aku harus ngomong apa. Pernah suatu hari, aku berusaha mendekati mereka. Mengajak mereka bermain bersama, tetapi mengapa mereka tak pernah mengerti apa yang kusampaikan. Mereka malah berkata, “Kamu ngomong apa? Kalau bicara yang jelas, jangan seperti orang gila kalau ngomong.” Lagi-lagi aku mendengar kata-kata itu dan akhirnya aku hanya bisa menangis sekeras-kerasnya. Aku rasanya ingin teriak, “aku hanya ingin bermain dengan kalian!!!”

Bukan hanya teman-temanku yang aneh, guruku pun sepertinya suka bersikap aneh. Selalu memaksaku menyelesaikan gambar-gambar yang  tak pernah kumengerti semua itu gambar apa. Memaksaku menghitung benda-benda yang ada dihadapanku. Ketika aku tak bisa menyelesaikannya, maka aku akan mendengar suara bentakan yang sangat keras. Lagi-lagi aku tak mengerti sebenarnya apa yang diinginkan oleh mereka. Ya, mungkin kehidupanku yang aneh.

Setiap kali pulang sekolah, Ibu akan menjemputku dan adik perempuanku. Ibu kembali mengurusi pakaian sekolahku dan menyiapkan makan siang untukku. Setelah makan, ibu akan memintaku untuk tidur siang. Jika aku ngotot tak mau tidur siang, maka ibu memberikanku laptop atau ipad yang biasa digunakannya. Ibu mengizinkanku untuk memainkannya sepuas hati dengan satu syarat, “jangan ganggu ibu selama dia sedang mengerjakan pekerjaannya”. Oke, aku akan menjadi anak yang penurut memenuhi keinginannya. Aku sebenarnya tak tahu apa pekerjaan ibuku. Setiap hari dia terlihat sibuk mengurusi barang-barang yang datang dan pergi ke rumahku. Kata orang-orang yang biasa datang ke rumahku, katanya ibuku seorang pengusaha dan ayahku seorang pekerja kantoran yang harus pulang hingga larut malam. Karena kesibukan mereka, aku hanya bisa bermain dengan benda kotak yang diberikan oleh ibuku. Aku juga belum bisa bermain dengan adikku. Dia masih sangat kecil dan terkadang aku tak mengerti dengan apa yang disampaikannya.

Oh ya, aku juga punya jadwal tidur yang tidak tentu. Semuanya tergantung pada pekerjaan ibuku. Jika pekerjaan ibuku belum selesai, maka aku pun akan ikut begadang. Aku begadang bukan untuk menemani ibu, tetapi karena tak ada yang menemaniku untuk tidur. Ayahku pun selalu pulang larut malam. Sejak pulang sekolah hingga menjelang tidur aku hanya punya satu sahabat yang selalu menemaniku, ipad yang isinya adalah game-game yang seru. Terkadang aku juga bermain dengan sahabatku yang lain, namanya televisi. Aku bisa menonton film-film kartun yang bahasanya masih terdengar asing di telingaku. Bahasanya sangat berbeda dengan yang sering kudengar dari orang-orang di sekitarku. Mungkin ini yang namanya bahasa asing.

Begitulah kehidupanku teman-teman setiap hari. Seperti itulah yang kujalani setiap hari, di rumah dan di sekolahku. Semoga ceritaku ini membuat teman-teman bisa tersenyum dan belajar mensyukuri setiap nikmat yang diberikan oleh Allah. Sampai sekarang pertanyaanku belum terjawab, “mengapa teman-temanku masih saja selalu memanggilku orang gila? Padahal namaku adalah Ahmad.” Aku berharap teman-teman yang membaca tulisanku tak memanggilku orang gila, sama seperti teman-temanku di sekolah. Tetapi panggil aku Ahmad, sebuah nama yang diberikan oleh orang tuaku yang katanya sangat mencintaiku.

Salam sayang selalu...

Sahabatmu, Ahmad

*Tulisan sederhana, terinspirasi dari kisah salah satu siswaku yang baru kukenal satu bulan terakhir ini. Saya sengaja menggunakan nama samaran untuk menjaga identitasnya. Dia anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah normal. Dia sepertinya sudah kecanduan dengan game-game yang tersedia di gadgetnya. Ketika pertama kali berkenalan dengannya, dia langsung berkata, “fire, fire!!!” Setelah saya mencari tahu, ternyata kata-kata itu dia dapatkan dari salah satu game yang sering dia mainkan. Sekarang dia belum bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang-orang di sekitarnya. Dia juga terbiasa menonton film kartun yang menggunakan bahasa asing.

Tadi pagi ada kejadian yang sangat menarik dan memberiku satu lagi pelajaran moral. Tiba-tiba dia tidak mau menyelesaikan gambar yang diberikan oleh guru. Biasanya jika saya membujuknya dan menemaninya menggambar sambil bermain tepuk dia akan mengikuti dengan baik setiap kalimat yang saya sampaikan. Tetapi hari ini dia tidak mau mengerjakan apapun. Saya mengalami kebingungan saat menghadapinya karena tak mengerti dengan apa yang disampaikannya. Dia belum bisa berbicara, meskipun usianya sudah lebih enam tahun. Akhirnya, aku meminta dia untuk mengambil sendiri apa yang diinginkannya. Dia lalu berjalan ke meja guru dan langsung memainkan laptop yang ada di meja tersebut. Saya lalu menariknya dan memberinya pengertian bahwa sekarang bukan waktunya untuk bermain laptop. Dia lalu menangis histeris dan ingin memberontak. Saya lalu menggendongnya dan membawanya keluar dari kelas. Saya sengaja membawanya keluar agar tidak mengganggu proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Dia masih saja menangis dipelukanku dan masih tidak menerima kejadian tadi. Dia tetap ngotot ingin bermain laptop. Saya pun berusaha untuk mengajaknya berdamai.

“Ahmad sayang sama Bunda?” tanyaku sambil menatap wajah polosnya.

Dia hanya menjawabnya dengan mengangguk.

“Kalau begitu Ahmad diam dong. Kalau Ahmad ngga diam, Bunda pergi saja deh,” kataku sambil menghapus air matanya.

“Jangan pergi!!!” katanya dengan suara terisak-isak.

“Ahmad mau kan Bunda masih disini?” tanyaku kembali.

Dia kembali mengangguk menjawab pertanyaanku.

“Kalau begitu peluk Bunda dulu baru kita makan sama-sama. Oke?”

Dia lagi-lagi hanya mengangguk dan langsung memelukku.

Sahabatku, pernahkah engkau merasakan pelukan seorang anak yang merindukan kehadiran ibu dan ayahnya? Dia mengalungkan tangannya di leherku dan memelukku erat. Saat saya memintanya untuk melepaskannya, dia tidak mau melepaskannya. Dia masih saja memelukku sambil menangis terisak-isak. Saya pun berusaha mengajaknya kembali berdamai, “Kalau Ahmad sayang Bunda, sekarang kita makan sama-sama ya? Nanti setelah makan kita main sama-sama lagi. Gimana?”

Dia pun melepaskan pelukannya dan turun dari pangkuanku. Dia menarik tanganku dan mengajakku cuci tangan. Dia lalu mengambil bekal makanannya dan membagi makanan yang dibawanya untukku. Dia menyodorkannya kepadaku tanpa berkata sepatah kata pun.

“Ini buat Bunda?” tanyaku kepadanya.

Lagi-lagi hanya dijawab dengan anggukan kecilnya.

“Terima kasih Ahmad!” jawabku sambil tersenyum.

Dan lagi-lagi hanya anggukan yang kudapatkan.

Anakku, engkau mungkin berbeda dengan anak yang lain tetapi dihatiku engkau tetap sama dengan yang lain. Engkau mungkin masih anak kecil, tetapi darimu aku belajar banyak hal. Belajar akan arti sebuah kesabaran dan rasa syukur. Betapa banyak pasangan yang merindukan kehadiran sang buah hati dalam kehidupannya, tetapi masih saja ada yang menyia-nyiakan anaknya. Andai mereka tahu bahwa kelak anak-anak mereka akan menjadi investasi di akhirat. Anakku,  Semoga Allah selalu menjaga dan menuntun setiap langkahmu.

Aamiin Ya Rabbal ‘alamin...

Sabtu, 22 Maret 2014

Karena Aku Selalu Bersyukur Memilikimu...

Aku kembali menemukan hari-hari kebersamaan kita...
Melewati hari berdua...
Makan berdua...
Nonton berdua...
Saling bercerita...
Dan yang paling kurindukan...
Shalat berjamaah denganmu...
Moment yang selalu kurindukan...
Dan membuatku selalu ingin kembali ke pangkuanmu...

Saat mencium tanganmu...
Keriput itu sudah semakin terlihat...
Namun belaian lembut tanganmu tak pernah berubah...
Saat memelukmu...
Aku menyadari tubuhmu semakin kurus dan terlihat membungkuk...
Namun kehangatannya masih tetap saja sama...
Kedamaian itu tetap ada saat bersamamu...
Dan akan selalu ada...
Sorot mata cinta untukku masih saja engkau berikan...
Meskipun aku belum bisa membahagiakanmu...
Mungkin...
Aku justru lebih banyak membuatmu khawatir...
Maafkan aku...
Kumohon maafkan aku...

Aku ingin bercerita banyak saat bersamamu...
Tetapi semua rangkaian kata itu hilang saat berbaring di pangkuanmu...
Dihapus oleh belaian lembut tanganmu...

Sudah saatnya aku yang harus mendengarkan ceritamu...
Tetapi...
Ceritamu tak pernah berubah...
Masih saja tentang dia...
Masih tentang kebersamaanmu...
With your first love...
Cinta pertamamu...
Dan cinta pertamaku...
Lelaki yang selalu mencintai dalam diamnya...
Lelaki yang menunjukkan cintanya dalam diamnya...
Lelaki yang menunjukkan cintanya di bawah sengatan matahari...
Lelaki yang menunjukkan cintanya dalam doa-doanya disetiap sujudnya...
Lelaki yang telah mengajariku tentang cinta sejati...
Lelaki yang telah mengajariku akan arti sebuah kehidupan...
Lelaki yang masih saja kurasakan pelukan hangatnya hingga sekarang...

Aku selalu berharap...
Kebersamaan ini akan selalu ada...
Di dunia dan akhirat...

Semoga Allah selalu menjagamu Mamaku yang selalu kucintai karena Allah...
Dan semoga Bapak, my first love, mendapatkan tempat terbaik disisi-Nya...

Biarkan aku menikmati sejenak...
Sebelum aku pergi...
Karena sungguh tak ada yang abadi...

Mama...
Bapak...
Dulu...
Sekarang...
Dan yang akan datang...
Aku selalu bersyukur memilikimu...
Semoga Allah membalas setiap kebaikan yang engkau berikan dan ajarkan pada kami, anak-anakmu...
Karena aku sangat mencintaimu...
Mencintaimu karena Allah... ^_^

Senin, 03 Maret 2014

Karena Dewasa itu Pilihan...

Teman A : "Ukhti, Bapak kamu pengusaha power bank ya?"
Teman B : "Masya Allah, koq tahu ukh?"
Teman A : "Hheemmm, ketika lagi di jalan dan baterai HP sudah sekarat, power bank hadir untuk mengatasi masalah tersebut. Jadi, HP yang tadinya baterainya tinggal 10% atau bahkan 5% bisa terisi kembali. Nahhh, tiap kali bertemu dirimu dan kondisi imanku lagi rapuh, tiba-tiba iman itu sedikit demi sedikit kembali dan menjadi lebih baik ketika mengobrol dengan anti."
Teman B : "Masya Allah..." ^_^

Tulisan saya kali dimulai dulu dengan sedikit gombalan dulu ya. Tapi tenang aja, gombalannya bukan yang melanggar koq. Hehehehe...

Sahabat...
Apa arti sahabat buatmu?
Ada yang pernah bertanya padaku dengan kalimat di atas. Bahkan terkesan memaksaku untuk menjawabnya. Dan akhirnya kujawab saja dengan santai, "Biarkan kujawab dengan sebuah tulisan." Padahal ngeles aja sih, hehehehe...

Sahabatku...
Salah satu hal yang paling membahagiakan adalah ketika menelpon saudariku dan aku bertanya, "Bagaimana kabar imanmu?"
Lalu dia menjawab, "Alhamdulillah, baik ukh. Amalan harian alhamdulillah semakin hari semakin baik."

Mendengar jawabannya saja, hatiku sudah sangat senang. Aku yang mungkin lagi futur saat itu, akan menjadi lebih baik mendengar jawabannya karena iri melihat dirinya yang semakin bertambah kedekatannya dengan Allah. Atau bisa juga imanku yang lagi baik saat itu lalu mendengar jawabannya, malah semakin bertambah keimananku. Dan aku berharap dirinya pun seperti itu.

Meskipun terkadang saat aku menanyakan kalimat utama di atas disetiap obrolan dengan teman, kadang jawaban yang kudapatkan berupa keluhan. Tetapi aku selalu suka dengan kalimat terakhir dari salah satu sahabatku ketika dia sudah selesai curhat, " Aku sadar semua yang kukatakan ini hanyalah sebuah pembenaran atas semua kekhilafanku. Dan aku mohon ampunan Allah atas kelalaianku."

Ya, sangat manusiawi. Kelelahan terkadang datang menghampiri disaat kita harus menyelesaikan semua kewajibaan kita. Hingga futuristik itu pun datang menghampiri. Tetapi kita selalu tahu jawabannya "Mengapa semua itu bisa terjadi?"

Ya... karena kedekatan kita dengan Allah yang lagi bermasalah. Karena kualitas ruhiyah kita yang lagi bermasalah. Bukan orang-orang di sekitar kita yang salah atau pun tugas-tugas dari dosen yang mengalir terus tiada henti. Tetapi iman kitalah yang lagi terkoyak.

Saudariku yang selalu kucintai karena Allah...
Teruslah belajar menjadi pribadi yang dewasa. Seseorang pernah berkata padaku bahwa kedewasaan seseorang sangat dipengaruhi oleh kualitas ruhiyahnya. Maka jagalah Allah dalam hidupmu, Inshaa Allah Dia pun akan menjagamu. Hadirkan Allah dalam setiap aktivitas kita agar Dia selalu menuntun kita tetap istiqomah di jalan-Nya.

Menjadi pribadi yang "cuek" memang baik, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu. Misalnya nih, cuek sama hal-hal yang bisa menghambat tercapainya mimpi-mimpi kita. Karena kita adalah makhluk sosial, maka kita akan tetap butuh orang lain. Pun begitu dengan tanggapan orang tentang diri kita. Buatku, pendapat orang tentang diriku itu penting untuk menjadi bahan muhasabah diri. Mengevaluasi lagi perilaku kita, apakah ada perilakuku yang membuat orang merasa tak nyaman atau membuat mereka sakit hati. Seperti nasehat Ustadz Salim A. Fillah, "Perlakukanlah saudaramu seperti mereka ingin diperlakukan. Bukan malah sebaliknya, perlakukan saudaramu seperti engkau ingin diperlakukan. Karena setiap orang itu berbeda-beda."

Saudariku yang kucintai karena Allah...
Teruslah menebar kebaikan di Bumi Cintanya Allah. Jaga senyumanmu untuk saudaramu. Walaupun kutahu bukan hal yang mudah untuk melakukannya. Tetapi mereka masih punya hak atas diri kita. Dan seperti biasa di akhir pembicaraan kita, "Mengeluhnya sama Allah saja ya." ^_^

Di akhir tulisanku...
Aku ingin menyampaikan rasa terima kasihku. Terima kasih telah menjadi saudaraku selama ini. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan saling menegur dalam sepi. Terima kasih menjadi teman berbagi ilmu, khususnya ilmu mendidik anak. Persiapan masa depan untuk mendidik anak-anak biologis dan ideologis kita. Hehehehe :D
Dan setelah ini kuharap tak ada lagi pertanyaan, "Sebenarnya engkau menganggapku apa selama ini?"
Karena aku kurang begitu menyukai pertanyaan itu. Buatku, setiap orang yang dihadirkan Allah dalam hidupku adalah orang-orang yang special. Mereka adalah orang-orang yang dihadirkan Allah untukku agar aku bisa belajar tentang kehidupan dari mereka. Mereka adalah saudara seimanku yang kucintai karena Allah.

Wallahu a'lam bi shawab...

#Ciangsana, 2 Maret 2014
Edisi muhasabah diri...
Merindukan orang-orang yang pertama kali hadir dalam lingkaran kecilku. Semoga Allah selalu menjaga kalian, dimana pun saat ini kalian mengabdi di Bumi Cintanya Allah... Dan teruslah ingatkan diriku yang lemah dan tak luput dari khilaf...^_^

NUTRISI UNTUK PASIEN COVID-19

    Pasca postingan tulisan pengalaman saya menghadapi Covid-19 di instagram  (@cerita_bonita), banyak teman yang DM dan japri bertanya ...