Bismillah...
Hari ini aku mau menulis untuk kakakku yang pertama. Tulisan ini hanya sebagai satu kenanganku untuknya.
Amir Mahmud, aku memanggilnya Daeng Amir atau K'Amir. Perbedaan usia kami cukup jauh. Ketika memoriku sudah bekerja dengan baik, kakak sudah kuliah di Jawa. Masa anak-anakku tidak kulewati bersamanya. Kenangan masa kecilku dengannya tidak begitu banyak karena kakak sudah pergi merantau. Aku hanya ingat ketika Bapak dan Mama mengajakku ke Jogja menjenguknya, aku sampai masuk rumah sakit. Aku lupa saat itu aku TK atau SD.
Hal lain yang kuingat tentang dia saat kecil adalah ketika kakak menikah. Kalau gak salah aku sudah SD, tapi lupa kelas berapa. Waktu itu aku cuma ingatnya selalu ikut dengan kakak-kakak yang lain kemana pun mereka pergi. Secara kakak menikah di Jakarta, Bapak dan Mama sibuk mengurusi pernikahan kakak. Jadinya aku diurus sama kakak yang lain.
Daeng Amir, kakak yang selalu mendukung urusan sekolahku. Hal yang tak bisa kulupakan adalah dia tak pernah mengizinkan aku untuk ngekost. Waktu kuliah aku minta izin untuk ngekost dekat kampus. Soalnya rumah kakak lumayan jauh dari kampus. Tetapi sama dia gak dikasi izin. Dia malah buatin rumah di Makassar untuk Mama, Bapak, dan K'Iping selama saya kuliah. Itulah sebabnya Mama dan Bapak ikut hijrah ke Makassar untuk menemaniku. Meskipun Bapak hanya menemaniku selama dua tahun hingga akhirnya Bapak pergi untuk selamanya. Semua kenangan kami berempat di rumah kecil itu begitu berharga buatku.
Daeng Amir, aku masih ingat saat menyelesaikan kuliahku, dia menawariku untuk lanjut S2. Tapi aku menolak. Aku ngotot mau cari beasiswa. Aku gak mau dibiayai lagi. Aku ingin belajar mandiri. Aku masih ingat saat aku bingung memilih kampus, dia mencari info untukku tentang kampus di Jakarta dan Bandung. Dia mengizinkan kuliah asalkan di kedua kota tersebut agar dia bisa tetap mengontrol aku. Satu lagi bentuk kasih sayangnya untukku. Hingga akhirnya dia menyarankan untuk kuliah di UNJ saja. Boleh dibilang masa-masa kuliah itulah yang semakin mendekatkan kami. Secara dia yang menjadi orang tuaku selama di Jakarta. Saat aku masuk rumah sakit, kakak bela-belain pulang dari Kupang hanya untuk melihat kondisiku. Aku jadi merasa bersalah karena gak cerita kalau aku lagi sakit. Yaaa, maafkan adikmu ini yang kadang keras kepala. Semua semata-mata karena aku tak mau membuatmu khawatir. Aku ingin belajar menyelesaikan semua masalahku sendiri. Tetapi ternyata malah membuatmu semakin khawatir.
Daeng Amir, kakak yang membuatku tetap berdiri tegar saat Bapak meninggal. Saat Bapak menghadapi sakaratul maut, kakak yang ngotot agar aku yang menemani Bapak disaat terakhirnya. Dia yang meminta agar aku yang menuntun Bapak di telinganya. Dia juga yang memintaku mengikhlaskan kepergian Bapak. Hal yang paling kuingat adalah ketika Bapak akan dimakamkan. Saat di pemakaman, dia berdiri di sampingku. Hingga di pemakaman aku memang tak pernah menangis. Aku berusaha kuat karena aku ingin mengantarkan Bapak hingga di peristirahatan terakhirnya. Satu-satunya yang membuatku menangis saat tumpukan tanah itu menutupi jasad Bapak. Aku seperti terbangun dari mimpi hingga aku tak menyadari kalau aku akhirnya tumbang. Dan K'Amirlah yang memelukku.
Saat itu aku hanya mengingat satu hal,"Bapak pergi disaat hanya aku yang belum dilihatnya menyelesaikan kuliahku. Aku belum menunjukkan apa-apa untuk Bapak."
Tapi K'Amir memelukku dan menguatkanku. Mungkin bagi kakak hanya seperti pelukan biasa, tetapi bagiku seperti kekuatan yang diberikan oleh Allah untukku agar aku tetap berdiri tegar.
Aku masih ingat, sejak kejadian itu dia yang paling rajin menelponku.
"Boni dimana dek?"
"Boni, sudah makan dek?"
"Bagaimana kuliahmu dek? Kira-kira bisaji cepat selesai?"
Perbedaan usia yang cukup jauh telah membuat hubungan kami seperti ada tembok diantara kami. Namun, sejak kejadian itu sedikit demi sedikit tembok itu runtuh. Kami menjadi semakin dekat dan akhirnya aku mulai belajar bahwa dialah pengganti peran Bapak saat itu. Semua hal tentang rencana kehidupanku harus dengan izinnya.
Ada yang pernah bertanya kepadaku, "Mengapa aku tak pernah suka menjawab pertanyaan sudah makan?"
Jawabannya sederhana. Aku tidak terbiasa mendapatkan pertanyaan itu selain dari orang-orang terdekatku. Aku lebih sering mendapatkan pertanyaan itu dari kakak. Itulah mengapa kalau ada orang lain yang bertanya,"Sudah makan?" akan kujawab seadanya. Memang kelihatannya agak aneh, tetapi begitulah kebiasaan yang kudapatkan dalam keluargaku. Aku tidak mau membuat diriku merasa nyaman dengan perhatian yang diberikan oleh orang-orang. Aku takut hal itu akan membuatku menjadi pribadi yang manja. Aku selalu ingat pesan Bapak,"Kalau kamu bisa selesaikan sendiri, maka selesaikan sendiri. Kalau mau minta tolong, maka minta sama Allah." Dan itu pula yang diajarkan oleh K'Amir padaku. Saat aku pusing menghadapi dosenku waktu masa-masa tesis, dia memberiku nasehat.
"Dosenmu itu milik Allah. Allah yang menggenggam hatinya. Makanya minta sama Allah."
Yaaa, aku sempat putus asa menghadapi dunia tesis. Namun, K'Amir yang selalu menelponku, "Bagaimana dek? Sudah ada perkembangan?"
Daeng Amir, aku tahu jadwal wisudaku bertepatan dengan jam kerjamu. Bahkan engkau harus ke luar kota. Tetapi engkau mengosongkan waktumu untukku. Saat dihadapan Mama, aku berjanji untuk tidak menangis. Namun, aku tak sanggup menahan air mataku saat memelukmu. Aku bersyukur Allah mengirimkan seorang kakak sepertimu. Aku tak bisa berkata apa-apa. Terlalu banyak yang sudah engkau berikan untukku.
Daeng Amir, sosok pemain tenang. Yaaa, aku menyebutmu seperti itu. Aku selalu terkejut dengan semua renacamu untukku. Aku yang kadang suka kesal sebenarnya apa yang akan engkau rencanakan untukku. Hingga akhirnya semua terjawab dan aku hanya bisa diam terkejut tak pernah menyangka engkau akan memberikan lebih dari yang kuharapkan. Dan hanya Allah yang bisa membalas setiap kebaikanmu.
Daeng Amir, kakakku yang kusayang karena Allah...
Terima kasih untuk semua yang telah engkau berikan untukku...
Maafkan adikmu ini yang kadang butuh waktu untuk memahami caramu menunjukkan kasih sayangmu padaku...
Aku belajar banyak hal darimu...
Belajar menyelesaikan masalah sendiri...
Belajar untuk mandiri dan tidak bergantung pada orang lain...
Belajar cara menyenangkan hati orang tua...
Belajar untuk memahami setiap skenario kehidupan...
Daeng Amir yang kusayang karena Allah...
Dimana pun kini engkau berada, semoga Allah menjagamu dan keluarga kecilmu dengan sebaik-baik penjagaan-Nya...
Tahukah engkau impian seorang anak perempuan?
Anak perempuan punya mimpi saat wisuda ada orang tua yang mendampinginya dan kelak dinikahkan oleh Bapaknya...
Impianku yang pertama telah aku lewati...
Meskipun tanpa Bapak, namun kehadiranmu sudah menjadi anugerah terindah dari Allah...
Dan kelak jika Allah mengizinkan aku untuk menyempurnakan setengah dien-ku, aku berharap dirimulah yang berdiri di sampingku...
Engkaulah yang mengambil peran Bapak sebagai waliku...
Mengantarkanku memulai kehidupan baruku...
Aamiin ya Rabbal 'alamin...
#Makassar, 7 Desember 2014
Saat engkau membaca tulisan ini, aku tak tahu apakah aku masih disampingmu atau tidak...
Namun, engkau harus tahu betapa aku mencintaimu karena Allah...
Semoga kelak kita bisa berkumpul di surga-Nya...
Hanya Allah yang bisa membalas setiap kebaikan kakak...
Tetaplah menjadi sosok kakak yang mengayomi...
Dan sosok ayah yang menyenangkan dihadapan isteri dan anak-anakmu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar