"Andai dulu aku menunda untuk menikah muda, mungkin aku juga sudah menyelesaikan kuliah S2-ku diluar seperti kamu."
"Andai dulu aku tak langsung mengiyakan tawaran dari Bapak, mungkin sekarang aku bisa seperti kamu saat ini."
Apakah kamu pernah mengatakan kalimat-kalimat seperti di atas?
Baru-baru ini aku bertemu dengan beberapa sahabat lama. Kami saling bercerita dengan kehidupan masing-masing. Setelah sekian lama tak bertemu, tentunya banyak hal yang berbeda dalam kehidupan kami. Dan seperti biasa, aku hanya menjadi seorang pendengar. Mendengarkan pengalaman-pengalaman menakjubkan yang mereka lewati hingga saat ini.
Terkadang mereka bercerita kebahagiaan yang didapatkannya hingga saat ini. Proses mereka mencapai kehidupannya yang sekarang. Sesekali aku mendengarkan ada kalimat penyesalan dari cerita mereka. Penyesalan atas keputusan yang pernah mereka ambil. Hingga beberapa kali aku mendengar kata-kata "andai dulu".
Sahabatku...
Sutradara terbaik itu adalah Allah. Skenario terbaik itu telah ditulis dan kita tinggal menjalankan peran kita masing-masing. Bukankah tugas kita hanya taat bukan?
Melihat teman yang bisa melanjutkan kuliahnya, sementara kita sibuk mengurus anak membuat kita menyesal. Mengapa dulu saya menikah muda? Melihat teman yang sudah diberi keturunan, sementara Allah belum mengizinkan kita untuk mendengarkan tangisan bayi dalam rumah tangga yang kita jalani. Melihat teman yang sudah berumah tangga, sementara kita masih sibuk bekerja atau pun berkutat dengan tugas-tugas kuliah. Masih banyak cerita-cerita lain yang sering kudengarkan dari teman-temanku.
Aku lebih banyak diam setelah mendengarkan cerita mereka. Aku pernah berada di posisi mereka. Bertanya kepada Allah, "Mengapa" harus seperti ini alur ceritanya? Hingga akhirnya aku sampai pada sebuah titik yang membuatku seperti habis ditampar di depan umum.
Ketika nada penyesalan itu terus keluar dari bibir kita, lalu kapan kita akan bersyukur?
Ketika kata-kata "andai dulu..." terus terlontar dari bibir kita, lalu dimana letak kesyukuran kita?
Mencoba kembali merenungkan setiap nikmat yang diberikan oleh Allah kepada setiap hamba-Nya. Bahkan yang tak pernah kita minta pun Allah beri dengan cuma-cuma. Nikmat udara, jantung yang masih berdetak, tangan yang masih mau menolong, kaki yang terus melangkah, dan masih banyak nikmat yang patut kita syukuri.
Dari semua nikmat yang diberikan Allah swt, sungguh nikmat terbesar yang diberikan-Nya adalah nikmat Islam, iman, dan ihsan dalam hati kita. Setiap kali aku ingin mengeluh, aku kembali mengingat betapa besar kasih sayang Allah untukku ketika aku berproses menjemput hidayah-Nya. Sebuah proses pencarian yang panjang hingga akhirnya Dia menyapaku lewat hidayah-Nya.
Namun, proses itu tak berhenti sampai disitu. Hal yang tak mudah adalah mempertahankan sesuatu yang berharga yang telah kita miliki. Hanya air mata dalam setiap sujud panjangku yang menjadi penguat untuk bisa melewati semuanya. Hingga akhirnya aku bisa memetik hasilnya. Orang-orang yang selama ini menolak perubahanku, akhirnya menjadi saudara yang selalu mengingatkanku ketika melakukan kekhilafan. Proses pencarian panjang itulah yang membuatku belajar untuk terus bersyukur, bersyukur, dan bersyukur.
Teringat taujih dari ustadz Salim A. Fillah, "ada hal penting yang harus kita miliki untuk bisa bersyukur, yaitu hati yang senantiasa bersyukur karena memiliki rasa syukur itu sendiri. Ketika kita bisa bersyukur, maka bersyukurlah karena rasa syukur itu masih ada dalam hati kita."
Sahabatku...
Bahagia itu sederhana...
Bahagia itu tak perlu engkau cari jauh-jauh...
Bahagia itu ada di dalam hatimu...
Di dalam hati yang senantiasa mensyukuri setiap nikmat pemberian Allah swt...
Karena itu tersenyumlah...
Waktumu akan terbuang sia-sia jika hidupmu hanya engkau habiskan untuk terus bertanya "Mengapa, Mengapa, dan Mengapa..."
Setiap kali engkau terbangun, maka bertanyalah pada dirimu, "Apa yang sudah kulakukan untuk Tuhanku? Apa yang akan kuberikan untuk Islam?"
Dengan begitu, tak ada waktu bagimu untuk menjadi pribadi yang lupa mensyukuri setiap nikmat-Nya...
Wallahu a'lam bi shawab...
#reminder_my_self
#Rumah Perenungan, 25 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar